Transisi energi Indonesia di persimpangan, target energi terbarukan melambat

Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam peluncuran Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025, Kamis, 6 Desember 2024 mengatakan bahwa bauran energi fossil Indonesia terus naik, sedangkan pertumbuhan energi terbarukan jauh lebih rendah. Bahkan pasokan listrik dari PLTU mencapai tingkat tertinggi dalam lima tahun terakhir, dan intensitas energi juga masih di bawah target yang ditetapkan Kebijakan Energi Nasional (KEN).

UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dengan transisi energi sebagai salah satu tujuan utamanya, seakan dimentahkan oleh KEN baru yang justru menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025 dan target di 2045. Selain itu, sejak diluncurkannya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang diklaim sebagai RUPTL hijau, nyatanya tidak membawa perubahan berarti.

Sebagian besar proyek pembangkit energi terbarukan yang harus dieksekusi 2021-2025 belum dilelang, konstruksi dan beroperasi. Hingga 2024, capaian target bauran energi terbarukan hanya berkisar di 13,1 persen, padahal target semula adalah 23 persen di 2025.

IESR menilai transisi energi di Indonesia berada di persimpangan jalan antara tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi dan politik dari industri fosil, atau segera beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon. IESR mencatat bahwa keragu-raguan dalam menentukan arah dan laju transisi energi dapat mengancam pencapaian target net zero emission (NZE) sebelum 2050, seperti yang ditargetkan oleh Presiden Prabowo dalam pernyataannya pada KTT G20 di Brasil, sekaligus melemahkan peluang Indonesia menjadi pemain utama di pasar energi terbarukan global.

Hal yang sama juga terpantau dalam pengukuran kesiapan bertransisi (Transition Readiness Framework/TRF) 2024 di mana meskipun terjadi kemajuan signifikan dalam daya saing biaya teknologi dan bahan bakar rendah karbon, transisi energi masih terhambat oleh kurangnya komitmen politik, regulasi yang kurang menarik, dan tata kelola yang tidak mendukung

Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR salah satu penulis IETO 2025, mengungkapkan semua sektor masih bergantung secara signifikan pada bahan bakar fosil, dengan dominasi penggunaan batu bara, liquefied petroleum gas (LPG), dan bahan bakar minyak (BBM). Di sektor ketenagalistrikan, 81 persen energinya berasal dari energi fosil pada 2023. Tidak hanya itu, PLTU di luar wilayah usaha PLN (captive) kapasitasnya berkembang menjadi 21 GW di 2023 sehingga berkontribusi naiknya emisi sebesar 27 persen di tahun yang sama. Ditambah lagi sebanyak 87 persen rumah tangga menggunakan LPG yang disubsidi, dengan total subsidi mencapai Rp83 triliun pada kuartal keempat 2024. Sementara, energi terbarukan hanya memiliki kontribusi bauran energi yang sangat kecil. Misalnya, di sektor industri, energi terbarukan hanya menyumbang 6,52 persen dari total energi yang digunakan.

“Pemerintah perlu progresif mengurangi bertahap subsidi bahan bakar fosil dan mengalihkan subsidinya ke sektor energi terbarukan. Selain itu, pernyataan Presiden Prabowo tentang pensiun dini PLTU batu bara pada 2040 harus segera direalisasikan, dimulai dari PLTU yang paling tidak efisien, alih-alih melengkapi PLTU dengan teknologi CCS/CCUS. Dari analisis kami, pensiun dini PLTU Cirebon-1, misalnya, akan membutuhkan biaya pengurangan karbonnya sekitar USD 31-40/tCO2e, lebih rendah dibandingkan CCS yang mencapai USD 62-324/tCO2e. Tidak hanya itu, pemerintah perlu pula meningkatkan pengawasan PLTU captive dan mendorong industri beralih ke energi terbarukan,” jelas Raditya. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles