Jakarta – 350.org menilai pemerintah tidak serius melakukan transisi energi, meski telah mendapatan komitmen pendanaan melalui mekanisme kemitraan JETP (Just Energy Transition Partnership). Hal ini terkait rancangan perubahan Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2021 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).
“Saat ini, Kementerian ESDM sedang menggodok perubahan Permen No 26/2021 tentang IUPLTU, yang justru berpotensi merugikan pengembangan pemanfaatan energi surya,” kata Suriadi Darmoko, Juru Kampanye 350.org melalui rilis tertulis, minggu lalu.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa rancangan perubahan peraturan itu akan memberikan porsi besar kepada PLN selaku pemegang IUPTL, sebab berhak mengusulkan kuota PLTS Atap on grid. Hal tersebut dapat dilihat dari penambahan pasal 4A yang menyebut kuota PLTS Atap diusulkan lima tahunan disertai dengan rincian kuota tahunan berdasarkan kajian IUPTLU terhadap sub sistem ketenagalistrikan.
“Prosedurnya, pemegang IUPTLU mengusulkan kuota pengembangan PLTS Atap kepada Dirjen Ketenagalistrikan dengan tembusan kepada Dirjen EBTKE.”
Selanjutnya, jelas Suriadi Darmoko, Dirjen Ketenagalistrikan dan Dirjen EBTKE melakukan evaluasi terhadap kajian dan usulan kuota pengembangan yang dibuat oleh Pemegang IUPTLU. Kemudian, Dirjen Ketenagalistrikan menetapkan kuota pengembangan PLTS Atap paling lambat bulan Desember setiap tahunnya, dan kuota batasan 5 (lima) tahunan paling lambat bulan Desember setiap 5 tahun sekali. “Penambahan pasal yang mensyaratkan adanya kuota ini mengkhawatirkan, karena usulan penetapan kuota bisa saja diusulkan secara subjektif berdasarkan kepentingan bisnis dari pemegang IUPTLU,” imbuhnya.
Menurutnya, PLN sangat mungkin tidak pernah akan mengusulkan kuota tersebut. Misalnya seperti saat ini, kondisi kelistrikan nasional sedang mengalami over supply dari pembangkit skala besar berbasis fosil. Usulan kuota PLTS Atap dari Pemegang Izin IUPTLU bisa sangat kecil bahkan mungkin tidak diusulkan kuotanya karena sudah kelebihan pasokan listrik dan masih menyalurkan listrik yang dihasilkan dari pembangkit fosil yang sudah terlanjur dibangun.
“Usulan kuota itu sangat subyektif dan kontraproduktif dengan semangat transisi. Pembangkitan energi terbarukan seharusnya didasarkan potensinya tidak dibatasi dengan usulan kuota. Subjektivitas dalam penentuan kuota inilah yang akan menghambat pemanfaatan potensi energi terbarukan secara maksimal,” ungkapnya.
Pasca peluncuran Just Energi Transition Partnership (JETP), lanjutnya, perubahan aturan PLTS Atap ini seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mempermudah implementasi juga memperbesar partisipasi publik dalam pengadaan energi terbarukan. PLTS Atap bentuk partisipasi publik seharusnya tidak dibatasi berdasarkan kuota. Begitu pun pengaturan terhadap PLTS Atap on grid ini seharusnya peluang bagi pemerintah untuk melibatkan partisipasi publik yang luas, pembangkitnya tersebar.
Perubahan peraturan ini seharusnya lebih memikirkan dan mengakomodir PLTS Atap sebagai solusi dari pemenuhan kebutuhan listrik karena pemensiunan PLTU atau pembangkit berbasis fosil lainnya.
“Pasca komitmen pendanaan JETP, pemerintah seharusnya melakukan perubahan kebijakan untuk mendukung transisi energi. Alih-alih mempermudah, revisi ini justru menghambat partisipasi publik termasuk menghambat akselerasi untuk pencapaian target bauran energi terbarukan nasional,” tegasnya. (Hartatik)