Jakarta – Para ahli mengingatkan agar pemerintah tak serta-merta menerima semua bentuk investasi atas nama transisi energi, meski banyak pihak, termasuk China dan Jepang, mengklaim mendukung agenda hijau. Menurut mereka, Indonesia kini dihadapkan pada tantangan baru untuk memastikan investasi asing yang masuk benar-benar sejalan dengan target netral karbon 2060.
Dalam diskusi CERAH Insight Talk bertema “Agenda Iklim dan Transisi Energi di Tengah Memanasnya Situasi Geopolitik Internasional”, Rabu, 7 Mei, Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Choiruzzad, menegaskan pentingnya menjaga arah kebijakan transisi energi nasional agar tidak terseret arus kepentingan asing yang belum tentu bersih secara lingkungan.
“Indonesia tidak boleh hanya bergantung pada satu negara atau kekuatan besar. Multilateralisme dan kemitraan multipihak harus diperkuat agar transisi energi tidak dimonopoli oleh kepentingan ekonomi dan geopolitik luar,” ujarnya.
Investasi energi asing ‘tak selalu hijau’
China melalui skema Belt and Road Initiative (BRI) dan Jepang lewat Asia Zero Emission Community (AZEC) menjadi dua mitra utama yang kini mengalihkan investasi mereka ke proyek energi “hijau” di Indonesia. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebagian investasi tersebut masih menyasar proyek berbasis energi fosil.
“China memang mulai berinvestasi di sektor energi terbarukan, tetapi masih banyak proyek mereka di Indonesia yang mendukung pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk industri nikel. Jepang pun masih mendorong gas alam (LNG) dan biomassa, yang berisiko memperpanjang ketergantungan kita pada bahan bakar fosil,” ujar Wicaksono Gitawan, Policy Strategist dari lembaga riset CERAH.
Kekhawatiran tersebut kian menguat setelah sejumlah dokumen resmi pemerintah, seperti Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 dan Permen ESDM No. 10 Tahun 2025, masih memuat rencana pemanfaatan teknologi seperti carbon capture storage (CCS) dan co-firing biomassa, yang dianggap kurang efektif dan justru memperpanjang masa hidup PLTU.
Menurut Shofwan, transisi ke energi bersih tidak hanya relevan dari sisi lingkungan, tetapi juga merupakan strategi jangka panjang untuk menjaga kedaulatan energi nasional.
“Ketergantungan pada energi fosil membuat kita rentan terhadap fluktuasi harga global. Diversifikasi energi lewat pembaruan sumber daya domestik menjadi keharusan, bukan pilihan,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya political will yang konsisten dari pemerintah untuk mempercepat reformasi kelembagaan dan menarik investasi yang benar-benar hijau.
“Kalau tidak ada kemauan politik yang kuat, mustahil kita bisa meningkatkan investasi energi terbarukan. Indonesia harus punya sikap dan daya tawar,” tambah Shofwan.
Meski Amerika Serikat sempat mundur dari Perjanjian Paris dan rencana pendanaan energi bersih global seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) menghadapi tantangan, Indonesia tetap terikat secara hukum melalui UU No. 16 Tahun 2016 yang meratifikasi Paris Agreement.
“Indonesia punya kewajiban hukum dan moral untuk melanjutkan transisi energi. Sekalipun ada dinamika politik global, kita tidak bisa mundur,” kata Wicaksono.
Ia mendorong agar pemerintah segera menghapus teknologi transisi fosil dari rencana energi nasional dan fokus pada peningkatan kapasitas energi terbarukan yang cepat, signifikan, dan berbasis sumber daya lokal. Selain itu, reskilling tenaga kerja di sektor fosil menjadi prioritas agar transisi bisa berjalan adil dan menyeluruh.
“Jangan sampai kita terjebak dalam ilusi investasi hijau. Kalau tidak selektif, transisi energi kita justru jadi alat geopolitik negara lain,” tutupnya. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)