Jakarta – Organisasi masyarakat sipil menyesalkan hasil Konferensi Perubahan Iklim ke-29 (COP29) di Baku, Azerbaijan, yang alih-alih mencapai solusi konkret untuk mengatasi krisis iklim, negara-negara maju justru dinilai abai terhadap janji pendanaan dan komitmen penurunan emisi. Kegagalan ini berpotensi memperburuk ancaman perubahan iklim, terutama bagi negara-negara berkembang dan komunitas rentan.
Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, dalam konferensi pers Senin, 2 Desember, menyerukan agar pemerintah menghentikan skema utang berbasis iklim dan segera mengesahkan Undang-Undang Keadilan Iklim. “Kita membutuhkan regulasi yang melindungi hak lingkungan dan menempatkan keadilan iklim sebagai prioritas utama,” katanya.
“Negosiasi di COP29 tidak menunjukkan langkah maju yang signifikan. Komitmen pendanaan iklim yang dijanjikan negara maju tak kunjung terealisasi, sementara target penurunan emisi justru meleset dari harapan,” ujarnya.
Target global untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius tampaknya semakin sulit dicapai. Data menunjukkan bahwa 78 perusahaan besar dunia, sebagian besar dari AS, China, dan Timur Tengah, bertanggung jawab atas 70 persen emisi karbon dioksida global.
“Dampaknya sudah terlihat. Negara-negara kepulauan seperti Indonesia menghadapi ancaman langsung dari kenaikan permukaan laut. BRIN memproyeksikan bahwa 115 pulau kecil dan sedang di Indonesia berisiko tenggelam pada 2100,” tambah Torry.
Sejak COP sebelumnya, negara-negara maju telah berjanji menyediakan dana sebesar USD 300 miliar (sekitar Rp4.783 triliun) untuk mendukung adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Namun, hingga kini, pendanaan itu belum jelas realisasinya. Bahkan, target lebih besar, yakni USD 1,3 triliun pada 2035, diperkirakan akan membebani negara berkembang melalui skema utang.
“Alih-alih memberikan dukungan langsung, negara-negara maju cenderung mendorong pasar karbon sebagai solusi. Padahal, skema ini sering mengabaikan prinsip tanggung jawab bersama tetapi berbeda (common but differentiated responsibilities),” jelas Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup ICEL, Syaharani. Menurutnya, pasar karbon lebih menguntungkan korporasi besar daripada membantu negara berkembang menghadapi perubahan iklim.
Selain tidak jelasnya pendanaan, pertemuan ini juga gagal menetapkan langkah konkret untuk mendukung transisi energi di negara berkembang. Ketua Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menyatakan bahwa tanpa pendanaan yang jelas, negara berkembang sulit melindungi komunitas rentan dari dampak perubahan iklim.
“Dana utang yang ditawarkan negara maju justru memperberat beban fiskal. Padahal, komunitas seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat sangat membutuhkan dukungan adaptasi untuk bertahan hidup,” jelas Armayanti. (Hartatik)
Foto banner: IISD/ENB | Mike Muzurakis