Mengenal ekosida, kejahatan lingkungan yang mengancam masa depan Bumi – Bagian 2

oleh: Eko Prasetyo*

Upaya penanggulangan ekosida

Hukum Lingkungan Internasional mengenalkan konsep ekosida yang pertama kali dalam Stockholm Conference on Human Environment tahun 1972, yang kemudian menjadi dasar dari Pembentukan Stockholm Declaration. Pada tahun 1978, International Law Commission (ILC) memasukkan perusakan lingkungan (damage to environment) ke dalam Draft articles on State Responsibility and International Crime.

Ekosida kini diakui sebagai masalah global yang mendesak, bukan hanya isu lokal. Beberapa negara, seperti Vanuatu dan Maladewa, telah mendorong agar isu ini dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dengan tujuan menjadikannya sebagai kejahatan internasional.

Selain itu, gerakan seperti Stop Ecocide Foundation berada di garis depan dalam upaya mengkriminalisasi ekosida di tingkat internasional. Organisasi ini berusaha untuk meningkatkan kesadaran publik dan memengaruhi kebijakan pemerintah agar memasukkan ekosida sebagai bagian dari hukum internasional. Walaupun perjuangan ini tidak mudah dan membutuhkan waktu, kesadaran global mengenai pentingnya melindungi lingkungan semakin menguat, dan upaya untuk mengakui ekosida sebagai kejahatan internasional pun terus bergerak maju.

Patut disayangkan, diskursus internasional melalui konferensi resmi yang diadakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk mengakui ekosida sebagai salah satu kejahatan internasional tidak berhasil. Walaupun gagal mendapatkan pengakuan di tingkat internasional, beberapa negara telah mengambil tindakan dengan menginkorporasikan ekosida ke dalam hukum nasional mereka. Contohnya, Vietnam dan Rusia telah melibatkan ekosida sebagai Crime Against Peace, sementara beberapa negara seperti Armenia, Belarusia, Republik Moldova, Ukraina, dan Georgia telah mengklasifikasikannya sebagai Crime Against Peace.

Di Georgia, kejahatan ekosida dapat dihukum dengan penjara selama empat belas hingga dua puluh tahun atau penjara seumur hidup. Selain itu, tiga negara lainnya, yaitu Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan, telah mengambil langkah serupa.

Terkhusus untuk Indonesia, saat ini, Indonesia belum memiliki pengaturan khusus tentang ekosida dalam hukum nasional. Selain itu, terdapat potensi RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Indonesia yang dapat melanggengkan praktik kejahatan ekosida secara sistematis. Sehingga perlu adanya pengaturan khusus tentang ekosida dan menjadikannya sebagai kejahatan luar biasa yang dapat ditangani oleh pengadilan HAM di Indonesia.

Meski permasalahan ini diakui benar adanya oleh masyarakat global, namun ada banyak tantangan dalam mengurangi potensi terjadinya ekosida ini. Beberapa negara besar dan perusahaan multinasional menolak inisiatif ini karena khawatir akan dampak hukum terhadap kegiatan bisnis mereka. Hambatan ekonomi dan politik juga turut membuat banyak negara enggan menerapkan aturan yang lebih ketat.

Tantangan penanggulangan ekosida

Beberapa penelitian menunjukkan, terdapat beberapa alasan mengapa kesadaran masyarakat dan penegakan hukum yang efektif masih dirasa kurang dalam menghadapi persoalan ekosida:

1. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang ekosida
Salah satu akar masalah dari rendahnya kesadaran lingkungan masyarakat adalah minimnya pemahaman tentang apa itu ekosida dan dampaknya. Konsep ekosida belum banyak dikenal oleh masyarakat umum. Kebanyakan orang mungkin memahami bahwa kerusakan lingkungan berbahaya, tetapi belum memiliki kesadaran mendalam bahwa kerusakan dalam skala besar ini dapat dikategorikan sebagai ekosida—yakni tindakan yang merusak ekosistem secara sistematis dan mengancam kehidupan makhluk hidup di dalamnya.

Budaya hukum masyarakat yang belum kuat, di mana masyarakat tidak memandang hukum sebagai instrumen utama dalam menjaga lingkungan, memperburuk kondisi ini. Sebagai contoh, masih banyak yang melihat perusakan lingkungan sebagai pelanggaran ringan atau hanya masalah lokal, tanpa mempertimbangkan implikasi jangka panjang bagi ekosistem yang lebih luas. Sikap ini mencerminkan bagaimana hukum belum diinternalisasi dalam nilai-nilai sehari-hari masyarakat.

Selain itu, adanya pergeseran nilai-nilai sosial di masyarakat yang turut mempengaruhi kepatuhan hukum. Nilai-nilai kejujuran, budaya malu, dan kepercayaan terhadap hukum yang dulunya menjadi fondasi dalam menjaga keseimbangan sosial kini mulai terkikis. Pergeseran ini membuat masyarakat semakin mengabaikan kewajiban moral untuk menjaga lingkungan dan kepatuhan terhadap aturan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan ekosida bukan hanya tentang kurangnya pengetahuan, tetapi juga tentang perubahan sikap dan nilai-nilai sosial yang mempengaruhi perilaku.

2. Lemahnya penegakan hukum terhadap ekosida
Selain dari sisi masyarakat, lemahnya penegakan hukum juga menjadi faktor krusial dalam menghadapi ekosida. Tidak semua negara, termasuk Indonesia, memiliki regulasi yang secara tegas mengatur tentang ekosida. Ini berarti banyak kasus perusakan lingkungan berskala besar tidak dapat diadili dengan tepat karena tidak ada landasan hukum yang jelas. Lemahnya regulasi ini menjadi celah bagi pelaku, terutama korporasi besar, untuk lolos dari pertanggungjawaban hukum. Perusahaan multinasional dan transnasional sering kali sulit dimintai pertanggungjawaban karena mereka beroperasi di berbagai negara dengan sistem hukum yang berbeda-beda, memanfaatkan kelemahan regulasi di satu negara untuk menghindari tanggung jawab.

Lebih lanjut, Omnibus Law Cipta Kerja di Indonesia telah menjadi sorotan karena potensinya untuk melanggengkan praktik ekosida. Beberapa pasal dalam RUU ini dianggap memberikan ruang bagi korporasi untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam tanpa pengawasan ketat, yang berisiko memperburuk kerusakan lingkungan. Ini menandakan bahwa ada tantangan struktural dalam sistem hukum yang perlu diperbaiki agar dapat efektif dalam menangani ekosida.

3. Kurangnya koordinasi dan sinergi antar pemangku kepentingan
Aspek lain yang tidak kalah penting adalah lemahnya koordinasi antara lembaga-lembaga terkait, seperti pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat. Seringkali terjadi disfungsi hukum, di mana peraturan yang ada tidak diimplementasikan dengan baik karena kurangnya sinergi antar pemangku kepentingan. Misalnya, kasus-kasus kerusakan lingkungan yang seharusnya dapat segera ditangani sering terhambat oleh birokrasi yang lambat dan minimnya komunikasi antara instansi terkait.

Lebih jauh lagi, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum menjadi penghalang dalam upaya penegakan hukum yang efektif. Ketika masyarakat merasa penegak hukum tidak transparan atau rentan terhadap korupsi, mereka menjadi enggan untuk melaporkan kasus-kasus ekosida atau terlibat dalam upaya pencegahan. Padahal, peran masyarakat sangat penting dalam memberikan tekanan kepada pemerintah dan korporasi agar mematuhi aturan yang ada. Sinergi yang kuat antara pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih responsif dan adil dalam menangani ekosida.

Secara keseluruhan, ketiga faktor ini—kurangnya kesadaran masyarakat, lemahnya penegakan hukum, dan buruknya koordinasi antar pemangku kepentingan—berkontribusi terhadap sulitnya menanggulangi persoalan ekosida secara efektif. Diperlukan pendekatan yang komprehensif untuk mengatasi masalah ini, termasuk edukasi yang lebih intensif mengenai dampak ekosida, reformasi hukum yang jelas, dan peningkatan sinergi antar lembaga.

Kolaborasi dalam melawan ekosida

Perang melawan ekosida membutuhkan kerja sama antara masyarakat, pemerintah, dan komunitas internasional. Masyarakat berperan penting dalam meningkatkan kesadaran melalui kampanye lokal, sementara pemerintah diharapkan dapat menetapkan kebijakan yang efektif dalam melindungi lingkungan dan memperkuat kerja sama internasional dalam menegakkan aturan hukum.

Pendidikan tentang dampak ekosida juga harus diperkuat agar masyarakat lebih peka terhadap kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas destruktif. Pengakuan ekosida sebagai kejahatan internasional adalah langkah penting untuk melindungi bumi dan hak-hak generasi mendatang.

Dengan semakin diakuinya ekosida di kancah hukum internasional, harapannya akan muncul mekanisme yang efektif untuk mencegah perusakan lingkungan lebih lanjut. Kini saatnya kita bertindak untuk mencegah kehancuran lebih lanjut sebelum terlambat.

Baca bagian sebelumnya: Mengenal ekosida, kejahatan lingkungan yang mengancam masa depan Bumi – Bagian 1
*Penulis adalah peneliti Pusat Studi Agama & Demokrasi dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
email : eko.prasetyo [at] uii.ac.id

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles