Masyarakat sipil desak kenaikan royalti minerba dialihkan ke energi hijau

Jakarta – Masyarakat sipil mendorong pemerintah agar tambahan dana dari kenaikan tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) tidak diserap semata sebagai pemasukan negara, tapi diarahkan untuk mempercepat transisi menuju energi bersih dan berkeadilan.

Kelompok-kelompok masyarakat sipil menilai langkah pemerintah dalam menetapkan tarif baru royalti melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 dan 19 Tahun 2025 sebagai peluang strategis untuk mengakselerasi pengembangan energi terbarukan.

“Kenaikan royalti ini jangan hanya dilihat sebagai tambahan penerimaan negara,” ujar Al Ayubi, Policy Strategist di lembaga riset energi CERAH, dalam pernyataan resminya, Jumat, 9 Mei.

Dalam kebijakan tersebut, pemerintah menerapkan tarif progresif untuk royalti nikel—yang sebelumnya flat 10%, kini naik menjadi 14% hingga 19%, tergantung Harga Mineral Acuan (HMA). Untuk batu bara, penyesuaian dilakukan berdasarkan jenis perizinan usaha, di mana royalti Izin Usaha Pertambangan (IUP) naik, namun royalti pada PKP2B dan IUPK justru diturunkan.

“Ini harus dijadikan momentum reformasi tata kelola ekstraktif demi mendukung transisi energi secara nyata. Dana hasil royalti perlu diarahkan untuk subsidi energi terbarukan dan insentif investasi hijau,” ujar Ayubi.

Kebutuhan energi bersih masih jauh dari target

Menurut Ayubi, realisasi anggaran energi terbarukan masih sangat jauh dari kebutuhan riil. Berdasarkan data RPJMN 2020–2024, pemerintah baru menganggarkan sekitar Rp34,2 triliun per tahun, padahal kebutuhan aktual mencapai Rp148,3 triliun per tahun.

“Tanpa pendanaan yang memadai, target bauran energi nasional dan komitmen iklim dalam NDC akan sulit tercapai,” tegasnya.

Lebih lanjut, data dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa sepanjang 2019–2021, investasi sektor fosil masih mendominasi sebesar 73,4%, sedangkan energi terbarukan hanya memperoleh porsi 26,6%. Ketimpangan ini dianggap menjadi hambatan utama dalam mempercepat transisi energi nasional.

Tata Mustasya, Direktur Eksekutif Sustain, menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan peluang emas bagi pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto untuk menyelaraskan kebijakan fiskal dengan agenda transisi energi. “Peningkatan pungutan produksi batu bara harus diarahkan untuk tiga tujuan: menambah penerimaan negara, memberi disinsentif terhadap produksi batu bara, dan mewujudkan keadilan iklim,” jelasnya.

Tata memaparkan bahwa dengan skenario harga batu bara selama 2022–2024, tambahan penerimaan negara bisa mencapai antara USD5,63 miliar (Rp84,55 triliun) hingga USD23,58 miliar (Rp353,7 triliun) per tahun. Dana sebesar itu dapat digunakan untuk mendukung program Just Energy Transition Partnership (JETP), yang membutuhkan USD96,1 miliar hingga 2030, tetapi hingga kini belum memiliki skema pendanaan konkret yang solid.

Namun, arah kebijakan royalti ini juga mendapat peringatan keras. Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mengingatkan agar pemerintah tidak mengulang pendekatan lama yang hanya mengejar penerimaan jangka pendek.

“Kebijakan ini harus jadi alat untuk menekan ketergantungan terhadap batu bara, bukan malah menggunakannya untuk proyek-proyek seperti hilirisasi batu bara ke DME yang tidak efisien dan tidak ramah lingkungan,” ujar Aryanto.

Ia menyoroti bahwa dalam RPJMN 2025–2029, pemerintah masih mematok produksi batu bara sebesar 700 juta ton per tahun, melebihi batas aman yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 400 juta ton.

“Industri minerba telah lama menikmati insentif besar. Sudah waktunya royalti digunakan untuk memastikan keberlanjutan, perlindungan lingkungan, dan keadilan bagi masyarakat terdampak,” tegas Aryanto.

Berbagai pihak sepakat bahwa pengelolaan pendapatan negara dari sektor ekstraktif perlu direformasi menyeluruh. Penyesuaian royalti harus diiringi pembatasan produksi, penghentian PLTU secara bertahap, dan penegakan prinsip “polluters pay” bagi industri yang merusak lingkungan. (Hartatik)

Foto banner: shutterstock

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles