Jakarta – Lembaga riset Trend Asia dan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) menilai kebijakan transisi energi di Indonesia berjalan stagnan. Bahkan kebijakan penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) inkonsisten.
Dalam pidato Opening Ceremony Hannover Messe 2023, 17 April 2023, Presiden Jokowi seolah memberi angin segar dengan mengatakan akan menutup semua PLTU 2025. Namun tidak lama kemudian pihak Istana meralat pernyataan itu dan menyebut seluruh pembangkit batubara baru akan ditutup pada 2050 dan bahwa di tahun 2025, 23% energi akan berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT).
CREA melalui kajian yang bertajuk ‘Ambiguitas vs Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia’, menilai kebijakan pemerintah selama ini masih jauh belum memadai dan mencatat antara lain komitmen dari pemerintah Indonesia masih lemah.
Peneliti CREA Jobit Parapat menyebutkan berdasarkan temuan yang ada “meski menggunakan teknologi baru tapi berpotensi menjadi solusi palsu dan tidak menyelesaikan masalah transisi energi di Indonesia”.
Menurutnya solusi palsu ini mencakup co-firing biomassa yang berpotensi mendorong deforestasi dan sedang ditentang statusnya sebagai energi netral karbon di panggung internasional, co-firing ammonia dan CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage) yang belum terbukti dan berpotensi mahal, atau Clean Coal yang tetap kotor dan merusak lingkungan.
Solusi yang ditawarkan berpotensi mengalihkan fokus dan pendanaan dari energi bersih seperti surya dan angin. Proyek co-firing ammonia, biomassa, CCUS, dan Clean Coal juga berpotensi dijadikan alasan untuk menunda penghapusan listrik batubara.
Sementara itu, peneliti Trend Asia, Andri Prasetiyo mengatakan, saat ini mayoritas jaringan listrik Indonesia berada dalam kondisi kelebihan pasokan (oversupply). Jaringan Jawa-Bali oversupply sejumlah 30%, bahkan jaringan Sulawesi mengalami kelebihan kapasitas terpasang hingga 69%. Kondisi tersebut membebani keuangan PLN yang tetap harus membeli kelebihan listrik. Kondisi ini buruk bagi iklim dan emisi karbon mengingat setengah dari bauran listrik ini berasal dari batu bara.
“Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah Indonesia seharusnya lebih progresif dalam membentuk kebijakan energi demi memenuhi target 1,5° C, salah satunya dengan melakukan mempercepat pemensiunan dini PLTU batubara,” tutur Andri.
Menurutnya, alih-alih menuntaskan, pemerintah malah merencanakan peningkatan porsi batubara dan energi fosil lain dalam bauran listrik Indonesia pada RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik). Pemerintah merencanakan 40,6 GW listrik fosil untuk komersialisasi antara tahun 2021 dan 2030, dari jumlah tersebut, 34% di antaranya yaitu 13,8 GW berasal dari batu bara dan 14% atau 5,8 GW dari gas dan diesel.
Meski Presiden Jokowi menekankan bahwa ia akan melarang dan membatalkan PLTU baru kecuali mereka telah mendapatkan persetujuan keuangan atau sedang dalam tahap konstruksi, beberapa pembangkit listrik dengan status PPA (Power Purchase Agreement) dan tanggal operasi komersial (COD) pada tahun 2024 atau lebih, tidak dibatalkan dalam RUPTL 2021-2030.
Yang dilakukan PLN justru mempercepat proyek Fast Track Program (FTP) 1, FTP 2, dan mega proyek 35 GW, yang 70% di antaranya merupakan usulan pembangkit batubara, termasuk PLTU yang belum mendapat persetujuan finansial. (Hartatik)