Jakarta – Koalisi masyarakat sipil #BersihkanBankmu mendorong perbankan untuk hentikan pembiayaan fosil. Dalam laporannya, koalisi ini mengungkap bahwa pendanaan bank ke sektor batu bara masih signifikan, meski pemerintah telah menargetkan transisi energi untuk mengurangi emisi karbon.
Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, dalam siaran pers, Selasa, 10 Desember mengatakan bahwa biaya energi terbarukan terus menurun, menjadikannya pilihan yang lebih kompetitif dibandingkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara. “Sebagai contoh, investasi pembangkit listrik tenaga surya diperkirakan hanya USD 410 per kilowatt pada 2050, jauh lebih rendah dibandingkan PLTU ultra supercritical yang mencapai USD 1.430 per kilowatt,” paparnya.
“Pembiayaan ke sektor batu bara ini tidak hanya bertentangan dengan komitmen transisi energi, tetapi juga berisiko bagi stabilitas keuangan perbankan itu sendiri. Aset yang dibiayai bisa berubah menjadi stranded assets seiring meningkatnya tekanan global untuk meninggalkan energi fosil,” ujar Bhima.
Menurut laporan terbaru koalisi tersebut, lima bank besar nasional, yakni BRI, BNI, BCA, Mandiri, dan Permata, tercatat menyalurkan pembiayaan hingga USD 5,42 miliar dan IDR 5,37 triliun ke sektor batu bara antara 2016-2023. PT Adaro Indonesia Tbk menjadi penerima kredit terbesar dengan total USD 1,94 miliar dan IDR 2,5 triliun.
Bhima juga mendorong perbankan untuk menyediakan skema kredit khusus bagi proyek energi terbarukan, seperti subsidi bunga untuk pembiayaan pembangkit skala komunitas. “Langkah ini tidak hanya mendukung transisi energi tetapi juga membuka peluang bisnis baru yang lebih berkelanjutan bagi perbankan,” tambahnya.
Peran regulator dan kebijakan taksonomi hijau
Koalisi #BersihkanBankmu juga meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator agar lebih tegas dalam mendorong perbankan untuk mengurangi pembiayaan energi fosil. Menurut mereka, kebijakan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) yang diterbitkan OJK dinilai belum cukup progresif.
“Penghapusan klasifikasi merah dalam dokumen TKBI memberikan sinyal yang membingungkan. Hal ini dapat membuat kegiatan yang sebelumnya dianggap tidak ramah lingkungan masuk ke kategori transisi atau bahkan hijau tanpa perbaikan berarti,” ujar Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia.
Menurut Linda, TKBI seharusnya menjadi alat yang lebih tegas dalam membedakan antara kegiatan ekonomi yang benar-benar hijau dan yang masih tergolong transisi. “Jika tak ada penguatan, Indonesia akan tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain di kawasan yang lebih agresif dalam menerapkan pembiayaan hijau,” tegasnya.
Sementara itu, Just Energy Transition Associate dari CERAH, Wicaksono Gitawan, menekankan pentingnya langkah nyata dari perbankan dalam mendukung target pemerintah untuk menutup PLTU batu bara pada 2040.
“Jika bank tidak segera menghentikan pendanaan ke sektor batu bara, risiko finansial jangka panjang akan semakin besar. Pernyataan Presiden Prabowo tentang percepatan penghentian PLTU harus dilihat sebagai peringatan serius bagi sektor perbankan,” katanya.
Ia menambahkan, transisi energi bukan sekadar tuntutan moral, tetapi juga peluang bisnis besar. “Investasi di energi terbarukan adalah masa depan. Jika perbankan nasional tidak mengambil langkah sekarang, mereka akan kehilangan momentum ini,” pungkas Wicaksono. (Hartatik)