Ketimpangan penanganan perubahan iklim perburuk ketahanan ekonomi Asia Pasifik

Jakarta – Ketidaksetaraan dalam kapasitas negara-negara Asia Pasifik untuk menghadapi perubahan iklim kian memperlemah daya tahan ekonomi kawasan. Laporan terbaru Badan PBB Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP) memperingatkan bahwa perbedaan kemampuan menghadapi risiko iklim telah menciptakan jurang yang semakin dalam, terutama bagi negara-negara berkembang dengan keterbatasan fiskal dan kapasitas kelembagaan.

“Krisis iklim dan tekanan ekonomi global yang meningkat membuat negara-negara di kawasan menghadapi dilema serius. Mereka harus memilih antara membiayai pembangunan atau mengatasi dampak iklim, padahal keduanya saling berkaitan,” ujar Armida Salsiah Alisjahbana, Sekretaris Eksekutif ESCAP, dalam siaran pers, Rabu, 9 April.

Dari hasil analisis terhadap 30 negara, ESCAP mengidentifikasi 11 negara dengan tingkat kerentanan makroekonomi tertinggi terhadap dampak perubahan iklim. Negara-negara tersebut antara lain Afghanistan, Kamboja, Iran, Kazakhstan, Laos, Mongolia, Myanmar, Nepal, Tajikistan, Uzbekistan, dan Vietnam.

Keterbatasan dalam sistem keuangan publik, lemahnya akses pendanaan iklim, serta kurangnya kapasitas teknis menjadi hambatan utama yang membuat negara-negara tersebut kesulitan beradaptasi dan membangun ketahanan iklim.

Pertumbuhan ekonomi melambat, produktivitas tertekan

Laporan ESCAP juga mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik terus mengalami penurunan. Pada 2024, pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya mencapai 4,8 persen, menurun dari 5,2 persen pada 2023, dan jauh di bawah rerata 5,5 persen dalam lima tahun sebelum pandemi Covid-19.

Lebih mengkhawatirkan lagi, produktivitas tenaga kerja di kawasan terus melambat sejak krisis keuangan global 2008. Tanda stagnasi ini terlihat dari melemahnya proses konvergensi pendapatan, di mana hanya 19 dari 44 negara berkembang di kawasan yang mengalami penyempitan kesenjangan pendapatan antara kelompok ekonomi.

Laporan menyoroti bahwa hanya sebagian kecil negara yang berhasil menggalang pendanaan iklim dalam jumlah signifikan, serta mulai menerapkan kebijakan hijau yang proaktif. Di sisi lain, banyak negara lainnya masih terkendala fiskal dan menghadapi tantangan dalam memperkuat sistem keuangan domestik.

“Kebijakan nasional saja tidak cukup. Butuh koordinasi regional yang kuat untuk menciptakan ekosistem pendanaan dan teknologi yang inklusif agar transisi menuju ekonomi hijau bisa terjadi merata,” tegas Armida.

Meski dihadapkan pada tantangan besar, kawasan Asia Pasifik dinilai masih memiliki peluang besar untuk mengembangkan industri hijau dan memperkuat posisi dalam rantai nilai global. ESCAP menyebut sektor-sektor ini sebagai mesin pertumbuhan baru yang berpotensi mengangkat ekonomi kawasan jika didukung oleh strategi transformasi struktural dan investasi jangka panjang.

Laporan juga mendorong pembentukan kerja sama ekonomi regional yang inklusif, sebagai jalan keluar dari stagnasi pertumbuhan dan solusi untuk mendekatkan kesenjangan pembangunan antarnegara di kawasan. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles