Investasi modal ventura pada proyek-proyek terkait ESG meningkat

Jakarta – Investasi modal ventura pada proyek dan entitas yang berkaitan dengan keberlanjutan di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan modal ventura kini tidak lagi hanya mencari keuntungan dan imbal hasil, tetapi juga bagaimana investasi mereka berdampak pada masyarakat dan lingkungan.

Pada prinsipnya, keberlanjutan, yang lebih dikenal sebagai investasi lingkungan, sosial, dan tata kelola (atau environmental, social, and governance/ESG), mempertimbangkan dampak lingkungan, tanggung jawab sosial, dan praktik tata kelola perusahaan.

Investasi ESG sebelumnya merupakan pertimbangan investasi pinggiran. Namun, saat ini, ESG berada di garis depan, memastikan perusahaan dinilai dari neraca keuangan dan dampak sosial yang lebih luas.

Perusahaan modal ventura ini biasanya menerapkan prinsip investasi yang bertanggung jawab secara sosial (SRI). Strategi investasi ini menyaring investasi melalui lensa kebaikan sosial. Strategi ini membatasi dana pada bisnis yang menunjukkan dampak sosial yang positif, seperti kesehatan lingkungan, keadilan sosial, dan lainnya. Istilah populer lainnya adalah ‘investasi berdampak’, yang memadukan dua tujuan, yaitu menghasilkan keuntungan dan menciptakan perubahan sosial yang positif.

Pada prinsipnya, ada dua jenis investasi modal ventura dalam proyek-proyek ESG. Pertama, modal ventura berinvestasi di perusahaan atau proyek yang telah mengintegrasikan ESG ke dalam operasi mereka. Kedua, mereka berinvestasi pada proyek, perusahaan rintisan, atau korporasi yang terkait dengan ESG.

Beberapa perusahaan modal ventura sangat populer dan dikenal luas karena sering ditulis di media atau publikasi. Namun, ada juga yang beroperasi di balik layar dan tidak ingin terlihat oleh publik. Sebagian besar perusahaan modal ventura ini berbasis di luar negeri, tetapi ada juga yang berbasis di dalam negeri.

Menurut laporan terbaru dari Shizune.co, per Januari 2025, setidaknya ada 50 perusahaan modal ventura yang berinvestasi pada entitas dan proyek-proyek keberlanjutan di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah perusahaan modal ventura ternama, seperti SOSV, Alpha JWC Ventures, Clime Capital, Schneider Electric VC, Convergence Ventures, East Ventures, iSeed Ventures, Kakao Investment, Openspace VC, Kejora-SBI Orbit, dan Saratoga Investama Sedaya.

Climate Capital yang berbasis di Singapura, misalnya, memfokuskan investasinya untuk menciptakan aksi iklim yang positif dengan mengembangkan peluang investasi energi hijau. Sejauh ini, Clime Capital telah berinvestasi pada proyek-proyek tenaga surya, energi terbarukan, dan rumah pintar.

Portofolio investasi Clime Capital meliputi Hijau, sebuah entitas bisnis yang menyediakan solusi energi surya; Xurya, sebuah entitas energi terbarukan yang menyediakan solusi bagi pemilik atap komersial dan industri; dan Nami Energy, yang menyediakan solusi energi terbarukan bagi para kliennya dan juga berkolaborasi dengan pihak-pihak lain untuk mencapai keseimbangan antara kelestarian lingkungan dan kesejahteraan manusia.

Perusahaan modal ventura lain yang berfokus pada investasi di sektor energi terbarukan adalah Schneider Electric VC. Perusahaan ini berinvestasi di bidang teknologi iklim dan sektor energi. Portofolionya di Indonesia mencakup ATEC, sebuah entitas yang menyediakan produk memasak bersih yang berkelanjutan, terjangkau, dan mudah diakses, dan EIT InnoEnergy, yang melakukan investasi ekuitas minoritas di perusahaan-perusahaan tahap awal dan menawarkan layanan bernilai tambah untuk membuat bisnis menjadi lebih besar, lebih cepat, dan lebih aman.

Sementara itu, Kejora-SBI Orbit VC terutama berinvestasi di bidang mobile, baterai, dan pendanaan Seri A. Portofolionya meliputi Bizhare, sebuah platform crowdfunding; Swap, sebuah infrastruktur stasiun penukaran baterai berbasis kota untuk pengendara sepeda motor listrik; dan KedaiSayur, sebuah perusahaan yang melayani pemesanan melalui pengantaran berbagai jenis kebutuhan dapur mulai dari sayuran, pindang, rempah-rempah, dan buah-buahan.

Founding Partner Rigel Capital, Sebastian T0gelang, mengatakan dalam sebuah diskusi panel baru-baru ini yang diselenggarakan oleh DealStreetAsia, yang bertajuk ‘Menyeimbangkan Dampak dan Alfa dalam Investasi Iklim dan ESG’, bahwa bisnis yang berkelanjutan semakin mengungguli model-model tradisional, dengan memberikan penghematan biaya dan efisiensi yang lebih besar.

Ia mencontohkan kendaraan listrik (EV) dan pupuk organik, yang kini menjadi alternatif yang lebih hemat biaya dibandingkan dengan kendaraan bermesin pembakaran internal (ICE) dan pupuk kimia.

Ia mengatakan bahwa Rigel Capital telah mengalihkan investasi perusahaan ke proyek-proyek yang berkaitan dengan keberlanjutan. “Meskipun pada awalnya tidak berfokus pada investasi berdampak, lebih dari 70% investasi kami dalam beberapa tahun terakhir terkait dengan keberlanjutan,” ujarnya dalam laman LinkedIn pribadinya, meringkas pidatonya di seminar tersebut.

Portofolio perusahaan meliputi pupuk organik, daur ulang minyak goreng bekas, daur ulang logam, kendaraan listrik, pengoptimalisasi kualitas udara, digitalisasi UKM, dan solusi rantai pasokan/logistik modern.

Berdasarkan laporan PWC 2023, investasi teknologi iklim menghasilkan kinerja keuangan yang kuat, dengan rata-rata tingkat pengembalian investasi (IRR) sebesar 27%, mengungguli sektor modal ventura tradisional.

Sebastian menyimpulkan bahwa mengintegrasikan keberlanjutan dalam investasi “tidak hanya baik untuk planet ini, tetapi juga merupakan strategi bisnis yang cerdas. (Roffie Kurniawan)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles