IEEFA dorong perbaikan regulasi untuk tingkatkan investasi EBT di Indonesia

Jakarta – Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyoroti stagnasi investasi energi terbarukan di Indonesia dan mendesak pemerintah untuk memperbaiki regulasi agar dapat menarik lebih banyak investor. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mendorong investasi hingga USD 146 miliar di sektor energi terbarukan, kebijakan tersebut dinilai tidak menguntungkan investor dan kurang efektif dalam implementasinya.

Menurut laporan terbaru IEEFA berjudul “Unlocking Indonesia’s Renewable Energy Investment Potential,” Indonesia sangat membutuhkan pembiayaan dari sektor swasta untuk mencapai target iklim 2030. Namun, persyaratan kontrak yang berat, terutama untuk energi surya dan angin, membuat biaya investasi meningkat dan menurunkan minat investor swasta.

“Investor swasta akan tertarik masuk ke pasar energi terbarukan Indonesia jika ada prosedur pengadaan yang jelas dan ringkas, sekaligus pelaksanaan regulasi yang konsisten dan dapat dipercaya,” kata Mutya Yustika, penulis dan Analis Keuangan Energi IEEFA, Selasa, 23 Juli.

IEEFA merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk menetapkan prosedur pengadaan proyek energi terbarukan yang transparan dan jelas, didukung oleh syarat dan ketentuan yang seimbang secara komersial. Langkah ini diharapkan dapat memberikan kepastian bagi investor swasta dan memastikan Indonesia mampu mencapai target dekarbonisasi.

Selama tujuh tahun terakhir, investasi energi terbarukan di Indonesia cenderung stagnan, meskipun memiliki sumber daya yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang kuat. Pada 2023, Indonesia hanya membukukan investasi sebesar USD 1,5 miliar dengan tambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 574 megawatt (MW). Sebagai perbandingan, Vietnam telah memiliki kapasitas energi surya hingga 13.035 MW dan angin 6.466 MW.

Laporan IEEFA mengidentifikasi sejumlah hambatan yang menurunkan minat investor dalam membiayai proyek energi terbarukan di Indonesia. Salah satu hambatan utama adalah kewajiban bekerja sama dengan PT PLN (Persero) dan anak usahanya dengan kepemilikan saham mayoritas 51 persen. Kebijakan ini menjadikan PLN sebagai pemilik de facto proyek, sehingga menurunkan minat investor swasta. Sebagai pembeli tunggal listrik energi terbarukan, peran ganda PLN sebagai pemegang saham dan pembeli menciptakan konflik kepentingan.

Sejak 2017, pemerintah Indonesia melarang pengalihan kepemilikan saham proyek energi terbarukan sebelum proyek beroperasi secara komersial (COD). Kebijakan ini membatasi kemampuan investor swasta untuk memperoleh tambahan modal dan keahlian teknis selama proses pembangunan proyek. Selain itu, skema ‘delivery-or-pay’ yang ditetapkan pemerintah, dengan volume energi terkontrak yang harus diproduksi proyek energi terbarukan setiap tahunnya, menambah beban investor.

“Dengan skema ini, investor swasta akan dikenai penalti jika tidak berhasil memenuhi persyaratan ketersediaan atau kapasitas energi yang harus dihasilkan,” jelas Mutya.

Meski banyak desakan untuk penerapan feed in tariff, pemerintah justru menetapkan skema tarif batas atas (ceiling tariff) untuk energi terbarukan. Akibatnya, proses lelang lebih mengutamakan produsen listrik swasta (IPP) yang menawarkan tarif terendah, sehingga sulit bagi investor untuk mencapai target laba.

Hal ini membuat lelang proyek baru menjadi tidak menarik. Tidak adanya transparansi dalam proses lelang proyek energi terbarukan yang digelar PLN, melalui penunjukkan langsung dan pemilihan langsung, juga menjadi hambatan lainnya.

Mengacu pada Peraturan Presiden No 112 Tahun 2022, proses lelang seharusnya berlangsung selama 90 hari untuk penunjukkan langsung dan 180 hari untuk pemilihan langsung. Namun, tidak ada jaminan proses lelang akan berlangsung sesuai ketentuan, bahkan bisa ditunda atau dibatalkan tanpa penjelasan.
“Negosiasi one on one, linimasa yang tidak jelas, dan proyek-proyek yang tidak disetujui melemahkan proses pengadaan, yang berujung pada menurunkan minat investor,” jelas Yustika.

Dengan tantangan tersebut, IEEFA mendorong pemerintah Indonesia untuk segera memperbaiki regulasi dan menciptakan lingkungan investasi yang lebih kondusif agar sektor energi terbarukan dapat berkembang lebih pesat dan mencapai target dekarbonisasi yang telah ditetapkan. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles