CSO kritik pendekatan Indonesia dalam transisi energi, teknologi CCS sebagai solusi palsu

Jakarta – Organisasi masyarakat sipil Trend Asia menyuarakan keprihatinan atas kebijakan energi pemerintah Indonesia saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, khususnya kebijakan Carbon Capture and Storage (CCS)/Carbon Capture, Utilisation, and Storage (CCUS).

Direktur Program Trend Asia Ashov Birry mengatakan kepada tanahair.net bahwa komitmen pemerintah terhadap transisi energi yang adil dan merata semakin diragukan “padahal urgensi transisi karena dampak krisis iklim sudah makin nampak dan dirasakan masyarakat luas.”

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) baru-baru ini mengumumkan bahwa Indonesia membuka diri terhadap peluang-peluang investasi di sektor penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage/CCS) untuk mendukung upaya-upaya Indonesia dalam mengurangi emisi karbon dan memerangi perubahan iklim.

Ashov berpendapat bahwa ketergantungan pemerintahan Jokowi pada teknologi CCS/CCUS sebagai solusi untuk transisi energi adalah salah kaprah. Menurutnya, CCS/CCUS
“belum terbukti efektif untuk mengurangi emisi, mengkonsumsi energi yang besar, serta sangat mahal. Dalam hal biaya teknologi, ongkos mahal akan ditanggung oleh negara dan oleh karena itu oleh masyarakat, sementara keuntungan akan didapatkan oleh industri fosil,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa risiko-risiko yang terkait dengan CCS/CCUS termasuk potensi kebocoran, yang dapat membahayakan lingkungan dan mereka yang bergantung padanya, dan menimbulkan kekhawatiran tentang implikasi teknologi ini di negara seperti Indonesia, yang secara geologis rentan terhadap gempa bumi, dan menyarankan agar prinsip kehati-hatian menjadi pedoman dalam mengambil keputusan untuk tidak menggunakan CCS/CCUS.

Pada bulan Februari, Indonesia dan Singapura menandatangani Letter of Intent (LOI) untuk bekerja sama dalam kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon lintas batas (CCS). Namun, Ashov mengingatkan bahwa kerja sama CCS/CCUS dan penyimpanan karbon antara Indonesia dan Singapura dapat memperdalam ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menunda transisi ke sumber-sumber energi terbarukan. Ia mengatakan bahwa Singapura masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, dengan gas fosil memenuhi lebih dari 90% kebutuhan energinya. (nsh)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles