Bagian 2: JETP, Menanti transparansi

oleh: Hartatik

Nusa Dua, Bali – Hingga kini belum ada transparansi dari pemerintah terkait komposisi pendanaan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership atau JETP) senilai Rp 310 triliun. Berapa besar perbandingan utang dan hibah. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan, komitmen pendanaan ini masih akan dibahas lagi rinciannya dengan sejumlah pihak terkait. Sebab skema pendanaan JETP merupakan kombinasi dari multilateral development bank, bilateral, dan juga filantropi, maupun hibah (grant).

“Kita akan lihat dari sisi detailnya karena itu berbagai kombinasi dari multilateral development bank, bilateral, dan juga dari sisi filantropi, grant (hibah), itu yang akan kami lihat,” tutur Sri Mulyani.

Lebih lanjut, menurutnya, pendanaan JETP ini nantinya untuk percepatan pemensiunan PLTU batubara. Adapun PLTU mana saja yang akan dipensiunkan dini, nanti akan dilihat apakah ada aset PLTU PLN yang sudah siap atau justru PLTU dari pengembang listrik swasta (Independent Power Producers/ IPP).

Hanya saja, kendalanya adalah beberapa pembangkit listrik masih berumur muda, bahkan ada yang kurang dari 12 tahun. Sri Mulyani yakin bahwa platform ETM ini memerlukan dukungan global dan investor.

Hingga saat ini, Indonesia telah mengalokasikan USD 500 juta untuk mendukung program ini. Dukungan ini akan bertambah hingga USD 4 miliar dan akan digunakan untuk menutup 2 GW PLTU.

Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Wanhar, memastikan masa operasional PLTU batubara di Indonesia akan diakhiri. Namun, Wanhar mengatakan upaya mempensiunkan pembangkit batubara tersebut tidak bisa langsung saat ini.

“Pensiun PLTU batubara hanya dapat dilakukan saat adanya kepastian keandalan jaringan, dengan substitusi dari pembangkit energi terbarukan dan atau instalasi sistem transmisi. Lalu adanya kepastian terlaksananya transisi energi yang adil dengan tidak adanya dampak sosial yang negatif dari pensiun dini, harga pembangkit energi terbarukan yang terjangkau, dan ketersediaan dukungan pembiayaan internasional,” jelas Wanhar.

Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan, terkait pensiun dini PLTU harus dilihat dari berbagai aspek. Pertama pihaknya memiliki komitmen dengan PLN lantaran ada perjanjian jual beli listrik. Kedua dari sisi pendanaan, ada pihak-pihak yang harus dikoordinasikan terlebih dahulu karena ada lembaga pendanaan dan project sponsor.

“Di lain sisi dari komersial kita juga harus melihat berapa selama ini produksi energi dari PLTU yang masuk ke sistem, karena masing-masing (pembangkit) memiliki kapasitas output yang menjadi keandalan sistem kelistrikan nasional di Indonesia,” kata Arthur.

Ia pun meminta pemerintah untuk merincikan dan mengkonkritkan skema pendanaan pensiun dini PLTU melalui pembiayaan campuran (blended finance).

Jebakan utang

Peneliti dan Program Manager Trend Asia, Andri Prasetiyo mengingatkan, Amerika Serikat dan Jepang selaku pemimpin negosiasi pendanaan JETP memiliki kepentingan besar akan sektor energi di Indonesia dengan sejarah panjang mendanai ketergantungan Indonesia akan minyak, gas dan batubara.

“JETP cenderung digambarkan sebagai inisiatif penyelamat, modal yang bergerak cepat, menawarkan peluang dan pendekatan transformatif untuk mendukung negara mitra dalam transisi energi menjauh dari batubara. Namun, saya khawatir bahwa JETP dapat gagal mendukung elemen paling kritis dari transisi yang adil, jika hanya mengeluarkan hutang dan tidak memberikan porsi hibah yang cukup atau pembiayaan lunak untuk negara berkembang,” beber Andri dalam webinar yang diadakan Climate Tracker Asia.

Menurut dia, pemerintah harus memastikan bahwa pendanaan tersebut memiliki porsi hibah atau pembiayaan lunak yang cukup ketimbang pembiayaan komersial yang mengikuti tingkat bunga yang berlaku di pasar. Pendanaan JETP sebagai inisiatif iklim diharapkan mampu membantu negara berkembang untuk pensiun PLTU, maka yang dibutuhkan adalah soal hibahnya yang lebih besar, bentuk tanggung jawab negara maju sebagai pihak yang menghasilkan emisi.

Ia pun menyoroti upaya Senator Amerika Serikat, John Kerry selaku pemrakarsa JETP Indonesia yang menggadang-gadang pendanaan karbon sebagai bagian dari skema pendanaan transisi energi, khususnya di Indonesia. Titik berat pendanaan swasta justru akan menyulitkan upaya transisi energi yang dibutuhkan, sehingga mereka cenderung menyelipkan solusi-solusi semu yang tidak transformatif bagi sistem energi dan perekonomian Indonesia. Contohnya, dukungan berlebihan pada teknologi mobil listrik berbasis baterai, hidrogen serta carbon, capture, and storage/capture, utilization, and storage (CCS/CCUS).

“Dan untuk saat ini, mereka ingin membawa inisiatif sebagai bentuk istilah baru yang disebut JETP, tetapi tidak ada jaminan hibah yang cukup. Tidak ada jaminan tentang keuangan yang membantu negara-negara berkembang untuk menjauh dari batubara. Jadi saya khawatir JETP itu benar-benar hanya bentuk lain dari jenis pinjaman yang akan mengarah pada penyesuaian tekanan dan masalah negara berkembang,” imbuh Andri.

Lebih lanjut, menurutnya, implementasi proyek JETP di Indonesia juga dibayangi oleh risiko berbahaya dan kegagalan besar dalam upaya dekarbonisasi sistem kelistrikan. Pasalnya, pemerintah masih memberikan sinyal ambigu dalam transisi energi dengan tidak menetapkan tenggat waktu yang jelas untuk pembangunan PLTU baru. Selain itu masih berupaya untuk memperluas gas fosil di jaringan listrik, sehingga akan menghambat pengembangan energi terbarukan.

“Jika JETP akan datang dalam bentuk utang baru, berarti akan ada potensi kerugian dana masyarakat yang pada akhirnya tidak akan berdampak signifikan dalam mengurangi emisi sektor kelistrikan untuk mengatasi laju perubahan iklim,” katanya.

Ia pun menyoroti dana JETP Afrika Selatan, yang disepakati pada COP26 di Glasgow, Skotlandia, tahun lalu, didominasi oleh utang atau pinjaman lunak dan komersial, dengan porsi hibah kurang dari 3%.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menanggapi skema JETP dan ETM yang masing-masing nilainya 20 miliar USD (Rp 310 triliun) dan 250-300 juta USD (setara Rp 3,87 triliun). Menurutnya, pendanaan dua skema itu merupakan inisiatif terobosan dalam mitigasi perubahan iklim. Namun yang perlu dicermati adalah beberapa persoalan yang bersifat teknis.

“Bentuk JETP adalah pinjaman, sebagian lainnya akan menggunakan investasi dari operation funding atau pendanaan swasta maka perlu ada transparansi terkait proyek yang akan didanai secara rinci kepada publik,” beber Bhima dalam konferensi pers virtual dengan tema ‘Mencermati Agenda KTT G20 dan Pendanaan Transisi Energi’, Kamis (17/11).

Karena itu, peran keterlibatan publik juga menjadi isu yang sentral, termasuk pembelajaran dari pengalaman JETP di Afrika Selatan. Bhima mengingatkan bahwa dana tersebut cukup besar di tengah suku bunga yang meningkat, negara yang kesulitan mencari pendanaan—ada sekitar 60 persen negara miskin yang terancam gagal bayar utang. Sedangkan menurut IMF, 25 persen negara berkembang mengalami kesulitan pembayaran utang.

Sementara, Indonesia dijadikan salah satu proyek mendapatkan komitmen yang masih panjang untuk realisasinya. “Oleh karena itu kita memang harus melakukan pengawasan secara bersama-sama. Uangnya untuk apa, tata kelolanya seperti apa,” ucap Bhima.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menilai tenggat waktu enam bulan dalam penyusunan investment plan pada pendanaan JETP itu terlalu lama. Jika dibandingkan Afrika Selatan, Indonesia sejak awal sudah fokus pada pemberhentian PLTU batubara, pengembangan energi terbarukan dan sistem tenaga kelistrikan yang kompatibel mencapai net zero emission. Dalam persyaratan JETP, Indonesia harus mendukung target pembatasan puncak emisi karbon pada sektor kelistrikan sebesar 290 juta ton pada 2030. Sementara saat ini emisi dari sektor kelistrikan sudah mencapai 240 juta ton.

“Dan ini artinya perlu ada pensiun dini PLTU yang sedang beroperasi. Selain itu juga penghentian PLTU-PLTU yang saat ini sudah direncanakan sebesar 13,8 GW, diganti dengan pembangkit energi terbarukan. Tinggal pembangkit itu dimana, berapa besarnya dan apa jenisnya serta pengembangan transmisi untuk mendukung itu,” ungkap Fabby.

Dalam analisa IESR, target pembatasan emisi karbon 290 ton itu setara dengan penghentian operasi 6 GW PLTU sebelum 2030. Selanjutnya, bauran energi baru terbarukan menjadi 37-40 persen pada tahun yang sama.

Sementara itu, Direktur Eksekutif CERAH Adhityani Putri yang akrab disapa Dhitri menjelaskan bahwa JETP menggunakan pendekatan blended finance, di mana pembiayaan publik akan dicampur dengan pembiayaan swasta dengan tujuan untuk menghasilkan term pembiayaan yang sebaik mungkin bagi Indonesia. Tapi ada peringatan. Harus ada cukup jumlah hibah atau pembiayaan lunak dengan bunga nol untuk membawa tingkat bunga keseluruhan paket pembiayaan individu di bawah tarif pasar untuk membuat skema bekerja dan menghindari risiko jebakan utang.

“Kegagalan untuk memenuhi target dan kegagalan untuk memenuhi persyaratan pembiayaan menimbulkan konsekuensi yang serius. Peringkat negara dan kelayakan kredit Indonesia dapat terpengaruh dan ini dapat memiliki efek limpahan terhadap perekonomian. Bisakah negara bangkrut? Peluangnya sangat tipis tetapi tetap ada risikonya. Oleh karena itu, penting bagi kami untuk memastikan bahwa rencana investasi yang disepakati layak dan dapat memenuhi semua target, termasuk target energi terbarukan, target pensiun batubara, dan target pengurangan emisi,” kata Dhitri.

Bagian 1: JETP, solusi pendanaan atau jebakan utang lepas dari candu batubara?

Foto banner: Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengumumkan pendanaan kemitraan internasional untuk transisi energi di Indonesia melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) saat konferensi pers penutupan KTT G20 di Bali International Convention Center, Rabu (16/11). (Sumber: Hartatik)

Laporan ini merupakan bagian dari Fellowship G20 yang didukung oleh Climate Tracker Asia

 

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles