oleh: Hartatik
Nusa Dua, Bali – Udara panas dan kotor karena debu, belum lagi suara bising mesin pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang beroperasi 24 jam menjadi keseharian tidak hanya bagi I Ketut Mangku Wijana, tapi juga warga lainnya di Desa Celukan Bawang, Gerokgak, Buleleng, Bali. Bahkan, seumur hidupnya, ia belum pernah melihat pohon kelapa meranggas. Seperti beberapa tahun terakhir setelah PLTU dibangun.
“Dampak proyek ini sangat jelas buruk, baik saat ini maupun dalam jangka panjang,” ujarnya.
Hidup di sekitar PLTU, seperti di Celukan Bawang, membuat kondisi warga sulit. Hidup bersama polusi udara, dan bising mesin PLTU. Kesehatan pun terancam. Produktivitas tanaman pertanian warga menurun, bahkan mati setelah setiap hari terkena debu dari operasi pembangikit batubara. Surayah, yang juga hidup di sekitar PLTU, tak lagi bertani karena tanaman padi miliknya mati, kini ia hanya memelihara sapi.
Nelayan pun makin sulit tangkap ikan. Ikan-ikan di tepian tak lagi seperti dulu. Mereka harus jauh ke tengah laut mencari ikan, dengan biaya operasi tinggi. Lumba-lumba dan paus, sudah jarang terlihat. Nelayan menandai, hadirnya kedua satwa laut ini berarti banyak ikan kecil di sekitarnya. Tak hanya pencarian dari tangkap ikan berkurang, jasa layanan wisata pun terdampak.
Supriyadi, Kelompok Nelayan Bakti Kasgoro di Celukan Bawang mengatakan, nelayan sangat terdampak PLTU batubara karena harus berlayar lebih jauh dengan biaya bahan bakar lebih banyak. Ia menyebut butuh biaya bahan bakar sampai Rp 300 ribu sekali melaut. Sebelumnya ia cukup mencari ikan di pesisir saja, tanpa perlu mengeluarkan uang untuk mesin perahu. Warga Celukan Bawang hanya bisa pasrah lantaran tidak sanggup melawan oligarki di balik bisnis pembangkit listrik batubara.
Bagi Indonesia, PLTU batubara menopang sistem kelistrikan nasional hingga 64 persen. Sedangkan sisanya disokong dari gas (18%), pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi (14%), minyak (3%) dan energi surya (1%). Per 2021, total kapasitas dari pembangkit listrik nasional menyentuh 74 gigawatt (GW), 37 GW di antaranya dari PLTU. Butuh sekitar 113 juta ton batubara untuk menghidupkan 126 PLTU itu. Alhasil Indonesia menjadi negara terbesar kesembilan di dunia penghasil emisi karbondioksida pada 2021.
Transisi energi
Pemanfaatan batubara selama ini menjadi tantangan terbesar dalam proses transisi energi di Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan ada enam fase transisi energi menuju energi terbarukan. Salah satunya adalah mempensiunkan dini PLTU pada fase ketiga dan keempat yakni tahun 2031-2035 dan 2036-2040.
Hanya saja menjalankan program pensiun dini PLTU tidak mudah dan membutuhkan pendanaan yang sangat besar. Merujuk pada kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama University of Maryland, Amerika Serikat (AS) bertajuk “Assessing the Retirement Plan and Financial Need for Accelerated and Just Coal Power Phase Out in Indonesia”, estimasi pendanaan untuk pensiun dini PLTU mencapai USD 27,5 miliar atau Rp 422 triliun hingga 2050. Laporan tersebut juga mencatat ada 12 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dengan total kapasitas 4,5 gigawatt (GW) yang layak menjadi sasaran pensiun dini dalam kurun waktu 2022 sampai 2023.

Pensiun dini PLTU
Menurut analisis IESR, ada beberapa PLTU yang sudah layak dipensiunkan, di antaranya PLTU Asam-Asam di Kalimantan Selatan, PLTU Paiton di Jawa Timur, dan PLTU Banten Suralaya di Banten. Namun pemerintah justru memutuskan untuk “menyuntik mati” PLTU Cirebon 1 di Kanci, Kabupaten Cirebon yang tidak termasuk dalam rekomendasi pensiun dini 12 PLTU oleh IESR. Kebijakan tersebut diumumkan usai peluncuran mekanisme transisi energi hijau atau Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform di sela perhelatan KTT G20 di Bali, Senin (14/11).
Pensiun dini PLTU Cirebon 1 berkapasitas 660 Megawatt (MW) menggunakan skema ETM, dengan dukungan Asian Development Bank (ADB), melalui pendanaan senilai 250 juta-300 juta USD atau setara Rp 3,8 triliun – Rp 4,6 triliun. Perjanjian ini ditandatangani bersama antara ADB, PT Cirebon Electric Power (CEP) dan PT PLN (Persero), serta Indonesian Investment Authority (INA).
Presiden ADB, Masatsugu Asakawa mengungkapkan PLTU Cirebon 1 dipilih dengan beberapa alasan. Di antaranya PLTU ini memiliki kombinasi kepemilikan yang merepresentasikan pemerintah Indonesia, swasta dan internasional. PLTU Cirebon ini juga memiliki usia sedang dan mempunyai struktur finansial yang sehat, sehingga memudahkan untuk penerapan refinancing.
“PLTU batubara ini cocok untuk segera dipensiunkan dengan pertimbangan transisi yang kuat,” ungkapnya dalam konferensi pers.
Asakawa menambahkan, struktur dari transaksi final akan menentukan kapan tepatnya PLTU ini akan dipensiunkan. Hal ini masih dalam negosiasi. “ADB baru akan memulai negosiasi jadwal pembangkit ini jika benar-benar mati.”
Data dari ADB, PLTU Cirebon 1 beroperasi pada 2012 dengan kontrak 30 tahun. PLTU yang dikelola oleh PT CEP selaku pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) ini diketahui masih harus memasok listrik ke PLN hingga 2042 atau usianya akan mencapai 30 tahun.
Sementara PLTU batubara umumnya memiliki masa produksi antara 40-50 tahun. Artinya, jika tidak dipensiunkan, Cirebon-I akan melakukan perpanjangan kontraknya 10-20 tahun lagi pada 2042.
Di sisi lain, jika penghentian dilakukan pada 2037, maka operasinya akan berkurang 15 tahun. Angka ini diambil dari perkiraan masa hidup PLTU sebesar 40 tahun. PLN sebagai penandatangan MoU perjanjian ini harus setuju untuk memperpendek kontrak ketika nantinya PLTU tersebut menghentikan operasinya.
Selain skema ETM, pensiun dini PLTU juga masuk dalam pendanaan transisi energi yang disebut sebagai Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership atau JETP). Presiden Joko Widodo mengumumkan, bahwa Indonesia mendapatkan pendanaan transisi energi melalui skema JETP dengan target nilai investasi USD 20 miliar atau senilai Rp 310 triliun (kurs Rp 15.570 per dolar) sebagai salah satu pencapaian Presidensi G20.
“ETM (Energy Transition Mechanism) khususnya Indonesia memperoleh komitmen dari JETP sebesar 20 miliar USD,” ujar Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers penutupan KTT G20, Rabu (16/11).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, lewat kemitraan internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang itu diharapkan dapat dihimpun pembiayaan USD 20 miliar dari publik dan swasta selama tiga hingga lima tahun mendatang.
“Kemitraan ini akan mendukung komitmen ambisius Indonesia untuk mengejar target iklimnya melalui JETP, lewat investasi mitra internasional termasuk memobilisasi pendanaan awal 20 miliar USD dari pembiayaan publik dan swasta,” kata Luhut.
Selanjutnya, ia mengatakan, pemerintah bakal menyusun rencana aksi dengan mitra investor untuk menindaklanjuti kesepakatan kemitraan tersebut selama enam bulan mendatang. Pembahasan itu termasuk rencana investasi dan detail PLTU mana saja yang akan dipensiunkan dini melalui skema JETP. Luhut berharap pemerintah bersama dengan rekanan investor dapat segera menyusun strategi konkret untuk memadamkan PLTU batubara secara massif, sembari memasukkan sumber daya energi baru terbarukan ke dalam sistem kelistrikan nasional.
Utang dan hibah
Lebih lanjut, Luhut merinci skema pendanaan JETP terdiri atas senilai USD 10 miliar berasal dari komitmen pendanaan publik negara pendonor dan USD 10 miliar lainnya dari pendanaan swasta lewat lembaga keuangan dunia yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Working Group. Dalam GFANZ tergabung sejumlah perbankan global seperti Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered. Adapun, kemitraan JETP yang dipimpin AS-Jepang ini, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya, yakni Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, serta juga melibatkan Norwegia dan Denmark.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden mengumumkan bahwa nilai komitmen JETP ini belum termasuk investasi sebesar USD 798 juta atau setara Rp 12,4 triliun untuk membangun transportasi yang resilien terhadap perubahan iklim dan mendukung tujuan pembangunan Indonesia. Biden menambahkan, skema pendanaan JETP merupakan hasil kerja GFANZ atau koalisi lembaga keuangan terbesar di dunia yang berkomitmen untuk mentransisikan ekonomi global ke nol emisi.
“Bersama-sama, kami berharap memobilisasi 20 miliar dollar AS untuk mendukung upaya Indonesia mengurangi emisi dan mengembangkan energi terbarukan,” kata Biden saat konferensi pers KTT G20 di Bali, Senin (14/11).
AS dan Jepang akan memimpin negosiasi dengan International Partners Group terkait pendanaan transisi energi di Indonesia, terutama untuk meninggalkan batubara sebagai sumber energi pembangkit listrik.
Adapun pembentukan JETP ini menyerupai model pada inisiatif sama senilai USD 8,5 miliar untuk membantu Afrika Selatan dalam melakukan dekarbonisasi sektor kelistrikannya, pada COP26 di Glasgow, Skotlandia tahun lalu.
Indonesia menjadi negara kedua yang meluncurkan JETP. Di antara sepuluh penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, Indonesia tengah berupaya mempercepat transisinya ke energi bersih melalui penguatan komitmen JETP. Program ini dicetuskan untuk mendukung target Indonesia mencapai nol emisi karbon, atau net zero Emission (NZE) sepuluh tahun lebih cepat pada 2050. Salah satu aksi nyatanya, dengan menghentikan secara bertahap operasionalisasi PLTU batubara.
Bersambung ke Bagian 2: Menanti transparansi
Foto banner: PLTU Cirebon-1 dengan kapasitas 660 megawatt (MW) akan dipensiunkan lebih awal melalui skema energy transition mechanism (ETM) dengan dukungan pendanaan dari Asia Development Bank (ADB), senilai 250 juta-300 juta USD atau setara Rp 3,8 triliun – Rp 4,6 triliun. (Sumber: Cirebon Electric Power)
Laporan ini merupakan bagian dari Fellowship G20 yang didukung oleh Climate Tracker Asia