AEER desak pembatasan produksi nikel demi lingkungan, transisi energi berkeadilan

Jakarta – Organisasi Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mendesak pemerintah segera membatasi produksi nikel di Indonesia, Senin, 16 Desember. Selain bertujuan meningkatkan tata kelola industri nikel, kebijakan ini dinilai mendesak untuk mendorong transisi energi berkeadilan dan meminimalkan dampak lingkungan serta sosial akibat maraknya pertambangan nikel.

Desakan tersebut muncul sebagai tanggapan terhadap wacana pembatasan produksi nikel yang sempat disinggung pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, kepastian waktu penerapan kebijakan tersebut belum jelas.

Koordinator AEER, Pius Ginting menegaskan bahwa langkah ini bukan hanya soal mendongkrak harga nikel, tetapi lebih pada urgensi memperbaiki dampak negatif industri yang terus berkembang pesat. “Produksi nikel yang berlebihan tanpa tata kelola yang baik telah mengabaikan aspek lingkungan dan sosial. Ini bukan transisi energi yang kita inginkan,” ujar Pius.

Berdasarkan riset AEER tahun 2024, aktivitas pertambangan nikel di Sulawesi, khususnya Morowali dan Morowali Utara, telah membawa sejumlah persoalan serius. Selain kerusakan lingkungan, masalah perburuhan pun mencuat dengan tajam.

“Dalam kurun 2023 hingga 2024, tercatat 36 pekerja tewas dan 47 lainnya mengalami luka-luka akibat kecelakaan kerja. Situasi ini terjadi di tengah praktik eksploitasi buruh, seperti upah rendah, jam kerja berlebihan, dan standar K3 yang buruk,” ungkap Pius.

Ia menambahkan bahwa para pekerja sering kali dihadapkan pada kebijakan sepihak perusahaan, mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga pemotongan gaji yang tidak transparan. Di sisi lain, masyarakat lokal yang sebelumnya bergantung pada sektor pertanian dan perikanan harus menjual lahan mereka atau beralih menjadi buruh tambang dengan kondisi kerja yang memprihatinkan.

Persoalan limbah dari aktivitas tambang nikel juga menjadi perhatian AEER. Menurut Pius, setiap satu ton nikel yang diolah menghasilkan setidaknya 1,5 ton limbah. “Di Morowali, 600 hektare lahan telah disediakan khusus untuk pembuangan limbah industri. Namun, ini bukan solusi jangka panjang yang berkelanjutan,” ujarnya.

Selain itu, industri nikel di Indonesia masih bergantung pada energi batu bara sebagai sumber listrik utama. Dengan berbagai permasalahan tersebut, AEER mendorong pemerintah untuk menyesuaikan tingkat produksi nikel berdasarkan daya dukung energi terbarukan yang tersedia. (Hartatik)

Foto banner: Shutterstock

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles