Jakarta – Laporan dari Global Methane Hub terbaru mengungkapkan tingginya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap isu perubahan iklim. Laporan tersebut mengatakan bahwa sembilan dari sepuluh orang Indonesia menyatakan dukungan kuat terhadap upaya mengatasi krisis iklim, termasuk tindakan pengurangan emisi metana, gas rumah kaca yang lebih kuat dari karbon dioksida dalam jangka pendek.
Survei yang melibatkan responden dari 17 negara ini menunjukkan bahwa 91 persen masyarakat Indonesia mendukung kebijakan mitigasi perubahan iklim, sementara 89 persen menyatakan dukungan eksplisit terhadap upaya pengendalian emisi metana.
“Angka ini mencerminkan tingginya kesadaran dan urgensi yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia terhadap ancaman krisis iklim,” ujar Marcelo Mena, CEO Global Methane Hub, dalam pernyataan resminya, Selasa, 6 Mei.
Indonesia di puncak dukungan aksi iklim global
Hasil survei juga mengungkap bahwa 98 persen responden Indonesia percaya bahwa perubahan iklim memang terjadi, dan 81 persen di antaranya menyadari bahwa aktivitas manusia adalah penyebab utamanya. Indonesia menempati posisi teratas dalam daftar negara dengan tingkat kepercayaan dan dukungan paling tinggi terhadap isu iklim, melampaui negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman.
“Di Indonesia, perubahan iklim bukanlah isu masa depan—masyarakat sudah merasakannya hari ini. Lima dari sepuluh orang menyatakan telah mengalami dampaknya langsung,” kata Mena.
Dampak tersebut antara lain berupa peningkatan suhu, banjir yang makin sering, hingga penurunan hasil panen. Realitas inilah yang mendorong masyarakat Indonesia mendukung langkah-langkah ambisius dan mendesak dari pemerintah maupun sektor swasta.
Salah satu sektor utama penyumbang emisi metana di Indonesia adalah pengelolaan sampah organik. David Sutasurya, Direktur Eksekutif Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), menekankan pentingnya dukungan masyarakat sebagai dasar penguatan kebijakan.
“Temuan ini seharusnya menjadi pendorong bagi pemerintah untuk memperkuat amanat nasional, khususnya dalam pengelolaan sampah organik. Pengumpulan terpisah dan pengolahan desentralisasi menjadi sangat penting,” jelas David.
Ia menambahkan, momentum ini selaras dengan rencana penutupan 343 dari total 550 tempat pembuangan akhir (TPA) open dumping yang saat ini masih aktif di Indonesia. David juga mendorong agar target pengurangan emisi metana dimasukkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) selanjutnya.
“Krisis iklim adalah tantangan global, dan pengurangan metana bisa menjadi kontribusi cepat Indonesia dalam mendinginkan planet ini,” ujarnya.
Survei ini melibatkan negara-negara seperti Argentina, Botswana, Brasil, Kolombia, Mesir, Prancis, Jerman, Indonesia, Kazakhstan, Meksiko, Maroko, Oman, Pakistan, Filipina, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat. Secara keseluruhan, 82 persen responden global menyatakan mendukung kebijakan pengurangan emisi metana.
Dengan posisi Indonesia yang menonjol, Marcelo Mena menyebut bahwa negara ini bersama Filipina dan Pakistan memiliki peran penting dalam mendorong Asia menjadi pemimpin global dalam pengendalian polusi metana. “Indonesia berada dalam posisi strategis. Dukungan publik sudah tinggi, tinggal bagaimana ini dijawab dengan kebijakan yang ambisius,” tutup Mena. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2025)