Studi: Perubahan iklim tingkatkan konsentrasi arsenik dalam padi

Jakarta – Naiknya suhu global dan konsentrasi karbon dioksida (CO₂) akibat perubahan iklim bukan hanya memengaruhi cuaca ekstrem dan naiknya permukaan laut. Sebuah studi kolaboratif internasional yang baru saja dipublikasikan mengungkap ancaman baru yang tersembunyi dalam butir-butir nasi: peningkatan kadar arsenik anorganik dalam padi, yang berisiko memperbesar beban penyakit bagi masyarakat Asia, termasuk Indonesia.

Penelitian lintas institusi yang dipublikasikan di The Lancet Planetary Health, Rabu, 16 April, menunjukkan bahwa kombinasi suhu tinggi dan konsentrasi CO₂ yang diperkirakan terjadi pada tahun 2050 akan secara sinergis meningkatkan akumulasi arsenik anorganik (iAs) dalam tanaman padi.

“Peningkatan CO₂ dan suhu yang terjadi bersamaan menyebabkan peningkatan arsenik anorganik secara signifikan pada gabah,” ungkap Dongming Wang, peneliti utama dari State Key Laboratory of Soil and Sustainable Agriculture, Chinese Academy of Sciences.

Wang menjelaskan bahwa perubahan biogeokimia tanah yang terjadi akibat pemanasan global memicu terbentuknya spesies arsenik yang lebih mudah diserap tanaman padi. Hal ini menjadi perhatian besar karena beras merupakan makanan pokok miliaran orang.

Meningkatnya risiko kanker hingga masalah jantung

Lewis Ziska, profesor Ilmu Kesehatan Lingkungan dari Columbia Mailman School yang juga tergabung dalam studi ini, menegaskan bahwa temuan tersebut menunjukkan dampak kesehatan serius dari peningkatan arsenik dalam beras.

“Paparan arsenik kronis bisa memicu kanker paru-paru, kandung kemih, dan kulit, serta meningkatkan risiko penyakit jantung iskemik, diabetes, dan gangguan sistem kekebalan tubuh,” ujar Ziska.

Ziska menambahkan bahwa dengan kadar arsenik yang meningkat, wilayah seperti Asia Tenggara dan Asia Selatan, termasuk Indonesia, akan menghadapi lonjakan beban penyakit terkait konsumsi beras.

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode FACE (Free-Air CO₂ Enrichment) selama satu dekade, dengan mengamati 28 varietas padi di bawah kondisi simulasi tahun 2050. Data kemudian dimodelkan untuk memperkirakan dosis arsenik dan proyeksi risiko kesehatan di tujuh negara Asia utama: Bangladesh, Tiongkok, India, Myanmar, Filipina, Vietnam, dan Indonesia.

Berdasarkan data FAO dan EPA AS, konsumsi beras per berat badan dipakai untuk menghitung paparan dan memperkirakan peningkatan kasus kanker seumur hidup.

“Tiongkok diperkirakan mengalami kasus terbanyak, dengan sekitar 13,4 juta kanker terkait arsenik dari konsumsi beras pada 2050,” imbuh Wang.

Para peneliti menekankan bahwa meskipun ancaman ini serius, masih ada jalan keluar. Langkah yang disarankan mencakup pemuliaan tanaman padi yang lebih sedikit menyerap arsenic, pengelolaan air dan tanah sawah untuk menghambat pelepasan arsenik dari lapisan tanah, kampanye edukasi konsumen dan pemantauan berkala kadar arsenik pada beras konsumsi

“Inisiatif kesehatan masyarakat dan teknologi pertanian harus berjalan beriringan untuk mengurangi dampak ini sebelum krisis kesehatan publik membesar,” ujar Ziska.

Bagi negara seperti Indonesia, yang sangat bergantung pada beras sebagai sumber pangan utama, hasil studi ini menjadi alarm dini yang tidak boleh diabaikan. Jika tidak ditangani secara sistematis, perubahan iklim bukan hanya mengancam produksi pangan, tetapi juga menjadi sumber bahaya kesehatan jangka panjang melalui makanan yang dikonsumsi setiap hari. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles