Semarang – Kota Semarang bagian barat dan Kabupaten Kendal diguyur hujan lebat dengan butiran es sebesar biji kelereng, Jumat (23/9) malam. Kawasan Kecamatan Ngaliyan, Mangkang dan Kaliwungu (Kendal) merupakan tiga lokasi yang dilanda hujan es bersamaan dengan angin kencang.
Fenomena alam hujan es sebesar kelereng itu, tepatnya terjadi di wilayah Kelurahan Podorejo, Perumahan Palir, RW 9 sekira pukul 19.15 hingga pukul 20.00. Respati (30), salah seorang warga mengatakan, hujan es yang menyebabkan genteng rumah warga pecah, juga ada beberapa pohon bertumbangan.
“Baru kali ini turun hujan es, banyak atap asbes warga yang ikut terbawa angin kencang. Tiang pengeras mushala ambruk, padahal dari besi,” katanya.
Sementara itu Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang, Winarso mengatakan, hujan es disertai angin kencang menyebabkan pohon durian tumbang mengenai dua rumah. Winarso menyebutkan, tidak hanya genteng rumah milik warga yang rusak, tapi juga dua rumah di RT 3, Podorejo, Ngaliyan, rusak atapnya akibat tertimpa pohon tumbang.
”Kerugian yang dialami warga di Podorejo, diperkirakan mencapai Rp 80 juta,” papar Winarso.
Koordinator Bidang Observasi dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Ahmad Yani Semarang, Giyarto mengungkapkan, fenomena hujan es masih berpotensi terjadi di wilayah lain meliputi Solo Raya, Jawa Tengah bagian selatan, pantura tengah dan timur.
“Iya fenomena tersebut masih berpotensi terjadi di daerah lain. Seperti di Sragen, Klaten, sebagian Solo Raya, Jateng bagian selatan dan timur,” ungkap Giyarto, Sabtu (24/9).
Ia menyebut, hujan es adalah fenomena biasa yang sering terjadi di masa pancaroba atau peralihan musim. Sebab, pada masa tersebut berpotensi memunculkan awan cumulonimbus yang sangat tinggi.
Awan tersebut muncul dipicu kondisi pancaroba yang cuaca cukup panas dengan tingkat konfeknya tinggi sehingga membuat awan menjulang besar.
Di dalam awan terdapat petir dan angin. Selain itu, ada kristal es yang bisa turun menjadi hujan es apabila tinggi dasar awan sangat rendah.
Menurut BMKG, dalam analisis sementara citra satelit himawari pada Kamis (23/9), pukul 19.00 – 20.30 menunjukan adanya pertumbuhan awan konvektif (cumulonimbus) dengan suhu puncak awan terendah mencapai kisaran -80 sampai -100°C.
Menyikapi fenomena tersebut, BMKG pun mengimbau kepada masyarakat dan instansi yang terkait agar tetap waspada terhadap terjadinya cuaca ekstrem berupa hujan sedang hingga lebat yang disertai dengan kilat atau petir dan angin kencang serta hujan es pada akhir September 2022.
Melihat fenomena hujan es, pakar klimatologi UGM, Dr Emilya Nurjani menerangkan, hujan es atau sering disebut hail merupakan hasil dari pembentukan awan Cumulonimbus yang tumbuh vertikal melebihi titik beku air. Awan ini tumbuh di ketinggian sekitar 450 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga bisa mencapai 10.000 mdpl pada saat masa udara dalam kondisi tidak stabil.
“Awan bagian bawah (awan panas) mengandung uap air yang turun sebagai hujan yang kita kenal, sedangkan bagian atas awan (awan dingin) mengandung es. Bagian ini yang jatuh sebagai hail karena suhu udara di permukaan dataran mendukung kristal es tetap membeku walau ukuranya lebih kecil,” kata Emilya.
Kepala Departemen Teknik Lingkungan FT-SPK Institut Teknologi Surabaya (ITS), Dr Arie Dipareza Syafei ST MEPM mengimbau masyarakat untuk tidak panik menghadapi fenomena hujan es. Ia menegaskan, hujan es sebenarnya memiliki kandungan yang tidak jauh berbeda dengan hujan biasa. “Hanya berbeda bentuk, yang satu air, yang satu padat,” ujarnya.
Meski demikian, Arie membenarkan bahwa hujan es membawa polutan dari atmosfer. Bukan sekadar membawa partikel debu yang berukuran kecil. Ia mengungkapkan bahwa hujan es juga mengandung gas-gas emisi seperti nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan karbon monoksida.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal World Meteorological Organization (WMO), Prof Petteri Taalas mengungkapkan bahwa dampak perubahan iklim sudah sangat terlihat melalui cuaca yang lebih ekstrem di seluruh belahan dunia. Di peringatan meteorologi dunia tahun ini, WMO mencanangkan tema ” Early Warning and Early Action” yang memiliki arti peringatan dini dengan lebih dini bertindak dalam mitigasi terkait bencana akibat cuaca, iklim dan kondisi air yang kini cenderung ekstrem.
“Kami melihat gelombang panas yang lebih intens dan kekeringan serta kebakaran hutan. Kami memiliki lebih banyak uap air di atmosfer, yang menyebabkan curah hujan ekstrem dan banjir mematikan. lautan memicu badai tropis yang lebih kuat dan naiknya permukaan laut meningkatkan dampaknya,” imbuhnya.
Senada, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan perubahan iklimlah yang menjadi faktor penguat, mengapa cuaca ekstrem makin sering terjadi di Indonesia.
“Mulai dari hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es atau kekeringan panjang.”
Situasi ekstrem ini, kata dia, ketika bertemu dengan kerentanan lingkungan, tidak jarang mengakibatkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, angin puting beliung, dan tanah longsor serta kebakaran lahan. Perubahan iklim pulalah yang memporak porandakan keteraturan iklim dan cuaca di Indonesia, dan berdampak serius pada keberlanjutan sektor pertanian dan perikanan, yang dapat berujung pada ancaman terhadap ketahanan pangan Indonesia. (Hartatik)
Foto banner: Warga Kota Semarang dan Kendal memperlihatkan hujan es yang turun Jumat (23/9) malam. (Sumber: Dok warga/Hartatik)