Semarang alami penurunan muka tanah di 7 titik, terparah di Jawa Tengah

Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko menjelaskan penuruan muka tanah sebagai pemicu banjir pesisir di Jawa Tengah pada webinar Indonesian Journalists for Climate bertajuk ‘Masa Depan 112 Kabupaten/Kota Langganan Banjir Pesisir’. (tangkapan layar kanal Youtube SISJ)

Semarang – Kota Semarang kembali menegaskan statusnya sebagai wilayah yang paling terdampak oleh penurunan muka tanah di Jawa Tengah. Data terbaru menunjukkan bahwa sejak 2015 hingga 2019, laju penurunan tanah di kota ini mencapai 9,85 cm per tahun.

Faktor utama penyebabnya adalah eksploitasi air tanah dan beban infrastruktur di daerah padat penduduk.

“Semarang merupakan salah satu kota yang paling parah terdampak penurunan tanah. Sekitar 20% wilayah kota terkena dampaknya, terutama di daerah alluvial dan padat penduduk,” kata Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, pada webinar Indonesian Journalists for Climate bertajuk ‘Masa Depan 112 Kabupaten/Kota Langganan Banjir Pesisir’, Sabtu, 7 September.

Dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, ditemukan adanya tujuh titik di Kota Semarang yang mengalami penurunan muka tanah. Menurut Sujarwanto, penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh eksploitasi air tanah yang berkontribusi hingga 82%, sementara sisanya disebabkan oleh beban infrastruktur.

“Pengambilan air tanah secara berlebihan menyumbang 74-82% penurunan, sementara sisanya disebabkan oleh berat bangunan yang mencapai 18-26%. Selain itu, faktor geologi alam juga turut berpengaruh, terutama di wilayah Pantura yang berada di cekungan back-arc basin,” jelas Sujarwanto.

Penurunan tanah ini semakin diperburuk oleh aktivitas pembangunan industri di wilayah pesisir yang memberikan beban tambahan pada tanah dan mempercepat proses kompaksi. Selain Semarang, kota-kota pesisir lain di Pantura seperti Pekalongan, Tegal, Brebes, dan Demak juga mengalami masalah serupa.

Revisi tata ruang Pantura

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah provinsi Jawa Tengah telah melakukan berbagai upaya, salah satunya adalah merevisi tata ruang di wilayah Pantura agar tidak membebani daerah rawan penurunan tanah dengan pembangunan industri atau perumahan. “Kami sudah melarang penggunaan air tanah di wilayah seperti Semarang, Pekalongan, dan Kendal, menuju target zero penggunaan air tanah,” ujar Sujarwanto.

Pemerintah juga berupaya memperkuat akses masyarakat terhadap air bersih dengan mengoptimalkan kinerja Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan membangun Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), termasuk di Semarang Barat dan Petanglong.

“Kami juga terus meningkatkan pembangunan sumur-sumur resapan untuk membantu menstabilkan air tanah,” tambahnya.

Sementara itu, Akademisi dan peneliti dari Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas, menyoroti bahwa penurunan tanah di Semarang merupakan bagian dari bencana yang lebih besar di wilayah pesisir Indonesia. Selain penurunan tanah, wilayah-wilayah pesisir juga rentan terhadap kenaikan permukaan laut dan banjir rob.

“Ada tiga bencana besar di pesisir yang terus terjadi: penurunan muka tanah, kenaikan air laut, dan banjir rob. Semua ini berpengaruh besar pada 112 kabupaten dan kota di pesisir Indonesia,” ujar Heri.

Menurutnya, solusi untuk permasalahan ini tidak bisa disamaratakan.

“Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga solusinya juga harus spesifik, mulai dari pembangunan tanggul, relokasi, hingga peninggian infrastruktur. Semuanya harus dilakukan dengan pendekatan yang menyeluruh, termasuk manajemen air dari hulu ke hilir,” pungkas Heri. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles