Semarang – Sejak tahun 2015, Indonesia mengalami surplus pasokan listrik, sebuah tren yang diperkirakan akan terus berlanjut. Kelebihan ini disebabkan oleh ketidaksesuaian antara proyeksi permintaan dan konsumsi listrik.
Meskipun kehandalan dan ketersediaan energi patut diapresiasi, aspek ekonomi dari surplus ini memberikan beban keuangan yang signifikan bagi negara. Menurut Prof Ir Imam Prasetyo, MEng PhD, Dosen Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM), surplus ini menghambat pengembangan investasi energi terbarukan, karena pemerintah mungkin akan memprioritaskan sumber energi yang sudah ada sebagai respons pragmatis terhadap surplus.
Dalam pidato pengukuhan yang berjudul “Material Karbon Nanopori dan Masa Depan Pengembangan Perangkat Penyimpan Energi,” Prof Imam Prasetyo menekankan bahwa mengatasi surplus pasokan listrik di Indonesia memerlukan sistem penyimpan energi terintegrasi dalam perencanaan pembangkitan listrik. Insentif pemerintah untuk pembelian kendaraan listrik dan distribusi cuma-cuma peralatan elektronik rumah tangga, seperti kompor listrik dan rice cooker, yang bertujuan untuk mengatasi surplus listrik jangka pendek, mungkin tidak perlu dilakukan dengan peningkatan unit penyimpan energi utilitas yang efisien dan handal dalam sistem pembangkitan energi di masa depan.
“Unit penyimpan energi utilitas yang efisien dan handal akan menjadi bagian integral dari sistem pembangkitan energi di masa depan. Kemajuan dalam teknologi penyimpanan energi dan kebutuhan untuk mengintegrasikan sumber energi terbarukan dalam pembangkit tenaga listrik menimbulkan tantangan dan peluang bagi sektor energi suatu Negara,” ungkap Prof Imam dalam pidato pengukuhan Guru Besar pada bidang Teknik Kimia UGM, dikutip Rabu (10/1).
Lebih lanjut, menurutnya, penelitian, pengembangan teknologi, dan inovasi adalah kunci untuk mengantisipasi tren masa depan dan memperluas aplikasi teknologi penyimpanan energi.
Prof Imam dan Grup Riset Karbon di Departemen Teknik Kimia UGM, saat ini sedang melakukan penelitian terkait material untuk pengembangan perangkat penyimpan energi, dengan fokus khusus pada material karbon nanopori. Material ini memiliki struktur berpori dengan ukuran pori kurang dari 100 nanometer, membentuk jaringan pori hierarkis yang terinterkoneksi dengan luas permukaan spesifik yang besar.
Meskipun masih dalam tahap penelitian, material karbon nanopori memiliki potensi untuk mendorong pengembangan dan inovasi perangkat penyimpan energi lainnya, seperti baterai, superkapasitor, sel bahan bakar, dan penyimpanan hidrogen adsorptif.
Imam menyarankan bahwa penelitian unit penyimpan energi dalam pembangkit tenaga listrik adalah solusi penting untuk mengelola surplus pasokan energi listrik.
“Optimalkan fungsi unit penyimpan energi ini melalui hibridisasi dengan perangkat elektrolisis, agar dapat mengatasi tantangan kelebihan listrik. Listrik yang tidak disimpan dapat digunakan untuk elektrolisis dan menghasilkan gas hidrogen yang dapat dikonversi menjadi energi,” terangnya.
Kemajuan teknologi penyimpanan energi ini diharapkan dapat mengatasi tantangan yang terkait dengan sifat intermittent energi surya dan angin, sehingga dapat memperluas pemanfaatan sumber energi terbarukan tanpa polusi.
Secara krusial, pengembangan sistem penyimpan energi diharapkan dapat mempercepat perluasan akses elektrifikasi sambil memungkinkan peningkatan pemanfaatan energi terbarukan. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mengurangi dampak ekologis yang ditimbulkan oleh energi fosil. (Hartatik)