Peta jalan penghentian PLTU belum jelas, IESR pertanyakan implementasi kebijakan percepatan EBT

Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) mempertanyakan implementasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan, khususnya terkait rencana penghentian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Meski kebijakan tersebut menjadi bagian penting dalam upaya transisi energi, hingga saat ini peta jalan yang jelas untuk pelaksanaannya masih belum terlihat.

Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, meskipun mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif telah meletakkan fondasi penting untuk transisi energi selama masa jabatannya, termasuk dalam mengakhiri pembangunan PLTU baru oleh PLN, implementasi dari peta jalan penghentian operasi PLTU masih belum mencapai kejelasan yang diharapkan.

“Arifin Tasrif telah membuat langkah awal dengan menghentikan pembangunan PLTU baru oleh PLN, yang memberikan landasan untuk peningkatan energi terbarukan di masa depan,” ujar Fabby, Senin, 19 Agustus.

Namun demikian, Fabby menyoroti pentingnya komitmen kuat dari Menteri ESDM yang baru, Bahlil Lahadalia, untuk melanjutkan dan memperjelas rencana penghentian operasi PLTU.

“Peta jalan yang diamanatkan oleh Perpres No. 112/2022 seharusnya sudah disusun oleh Kementerian ESDM dengan persetujuan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN, agar PT PLN dapat menjalankan program pensiun dini PLTU, termasuk untuk PLTU Cirebon 1 pada Desember 2035 dengan skema Energy Transition Mechanism (ETM),” jelas Fabby.

Kajian IESR menunjukkan bahwa seluruh PLTU di Indonesia harus dihentikan secara bertahap sebelum tahun 2045, dengan 80 persen di antaranya dihentikan sebelum 2040, untuk memastikan Indonesia dapat memenuhi komitmen global dalam membatasi pemanasan bumi hingga 1,5 derajat Celcius sesuai dengan Persetujuan Paris. Langkah ini, menurut Fabby, juga diperlukan untuk meningkatkan penetrasi energi terbarukan hingga mencapai 40 persen dalam bauran energi primer pada tahun 2030.

Namun, meskipun terdapat target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025, data IESR menunjukkan bahwa pada 2023, kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi baru mencapai 13,09 persen, jauh dari target yang ditetapkan.

“Transisi energi Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang kuat, baik dari Presiden maupun Menteri ESDM, untuk mengoordinasikan pemanfaatan energi terbarukan yang optimal,” tambah Fabby.

Dalam waktu dekat, IESR merekomendasikan agar Menteri Bahlil memastikan PLN meningkatkan kapasitas energi terbarukan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024, serta mendorong agar konsep “power wheeling” diakomodasi dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBET) sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan partisipasi swasta dan BUMN dalam investasi energi terbarukan.

Selain itu, Fabby juga mengingatkan Menteri Bahlil untuk memastikan pelaksanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) berjalan sesuai rencana.

“Implementasi JETP membutuhkan konsistensi dan komitmen jangka panjang. Menteri ESDM yang baru perlu menjaga keberlanjutan kebijakan dan memastikan dukungan internasional tetap solid dalam mendorong transisi energi di Indonesia,” tutup Fabby. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles