Pertamina dan Chevron jajaki kerjasama bisnis rendah karbon

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dan oleh Executive Vice President Business Development Chevron Jay Pryor melakukan penandatanganan kerja sama terkait potensi peluang bisnis rendah karbon, Kamis (12/5) di Washington DC. (Sumber: Dok Pertamina)

Jakarta – PT Pertamina (Persero) dan Chevron Corporation (NYSE: CVX) melalui anak perusahaannya, Chevron New Ventures Pte. Ltd. (Chevron) kerja sama untuk menjajaki potensi peluang bisnis rendah karbon di Indonesia. Kerja sama ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman (MoU) di Washington DC yang dihadiri oleh Executive Vice President Business Development Chevron Jay Pryor, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan, serta Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.

Presiden Chevron New Energies, Jeff Gustavson mengungkapkan, kerja sama ini nantinya akan fokus terhadap teknologi panas bumi baru, penyeimbangan karbon melalui solusi berbasis alam, penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon, serta pengembangan, produksi, penyimpanan, dan transportasi hidrogen dengan rendah karbon.

“Kami sangat antusias dalam membangun sejarah Chevron hingga hampir 100 tahun di Indonesia. MoU ini menunjukkan komitmen Chevron dan Pertamina untuk terus mengidentifikasi peluang rendah karbon melalui kolaborasi dan kemitraan antara Chevron, perusahaan energi nasional, dan pemerintah, yang masing-masing memiliki kepentingan bersama dalam mendorong transisi energi nasional,” ungkap Jeff Gustavson, dalam rilis tertulis, Kamis (13/5).

Kerja sama antara Chevron dan Pertamina ini merupakan bagian dari upaya kedua perusahaan untuk mendukung target net zero emission Pemerintah Indonesia pada 2060. Adapun Pertamina berkomitmen meningkatkan bauran energi terbarukan dari 9,2 persen pada 2019 menjadi 17,7 persen pada 2030.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaikan, Indonesia, sebagai negara kedua terbesar yang memiliki kapasitas terpasang panas bumi telah mengembangkan geothermal sejak 1974. Saat ini, melalui Subholding Power & NRE, Pertamina memiliki total kapasitas terpasang geothermal mencapai 1.877 MegaWatt (MW) yang berasal dari 13 area kerja geothermal, di mana 672 MW berasal dari area kerja yang dioperasikan sendiri dan 1.205 merupakan kontrak operasi bersama (joint operation contract/JOC).

Area kerja yang dioperasikan sendiri dengan total kapasitas 672 MW tersebut mencakup Area Sibayak 12 MW, Area Lumut Balai 55 MW, Area Ulubelu 220 MW, Area Kamojang 235 MW, Area Karaha 30 MW, dan Area Lahendong 120 MW.

“Pertamina, sebagai BUMN energi terbesar di Indonesia, terus berkomitmen untuk mempercepat transisi energi sesuai dengan target pemerintah. Kemitraan ini merupakan langkah strategis bagi Pertamina dan Chevron untuk saling melengkapi kekuatan masing-masing, serta mengembangkan proyek dan solusi energi rendah karbon untuk mendorong kemandirian dan ketahanan energi dalam negeri,” ujar Nicke.

Selain itu, Pertamina juga melakukan diversifikasi pengembangan geothermal, antara lain yang saat ini tengah berjalan sebagai pilot project adalah green hydrogen yang dikembangkan di Area Ulubelu dengan target produksi 100 kg per hari, dan brines to power yang dikembangkan di Area Lahendong serta memiliki potensi kapasitas 200 MW dari beberapa area kerja lainnya.

Nicke menambahkan, bekerja sama dengan berbagai pihak, Pertamina juga tengah mengembangkan penerapan Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization, and Storage (CCUS) sebagai salah satu strategi perseroan mengurangi emisi karbon di dua lapangan migas yakni Gundih dan Sukowati. Pertamina juga sedang mengkaji komersialisasi penerapan teknologi CCUS di wilayah Sumatera.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan mengatakan, Pemerintah Indonesia sudah memiliki peta jalan transisi energi yang tertuang dalam Grand Strategy Energi Nasional. Dalam peta jalan tersebut, penggunaan energi terbarukan ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025 .Adapun pemerintah menyadari pentingnya pendekatan yang bersifat kolaboratif untuk mencapai tujuan rendah karbon.

“Tentunya, upaya untuk meningkatkan proyek energi rendah karbon tidak bisa dilakukan sendiri. Kami harap perusahaan minyak dan gas kelas dunia, seperti Pertamina dan Chevron, dapat bermitra untuk memangkas emisi karbon dan mendorong transisi energi sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pemerintah Indonesia,” imbuh Luhut. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles