Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama New Climate Institute (NCI) mengatakan perlu pembiayaan yang memadai diperlukan untuk mendukung proses transisi energi yang berkelanjutan dan adil di Indonesia.
Dalam laporan berjudul “Identifikasi Kebutuhan Pembiayaan untuk Transformasi Sektor Ketenagalistrikan Indonesia yang Berkeadilan”, dibahas instrumen pembiayaan yang dibutuhkan untuk mengakhiri pengoperasian PLTU batubara, membangun energi terbarukan, dan memastikan keadilan bagi pekerja yang terdampak.
Menurut analisis IESR dan NCI, diperlukan pembiayaan sebesar USD 2,4 miliar atau sekitar Rp 38,4 triliun (dengan nilai tukar 1 USD = Rp 16 ribu) untuk mendukung pekerja terdampak di sektor batubara. Pendanaan itu untuk paket dukungan kepada pekerja terdampak, dalam bentuk kompensasi dan pelatihan.
“Pembangunan resiliensi masyarakat di tingkat lokal menjadi aspek penting dalam transisi energi. Transformasi ekonomi yang inklusif diperlukan untuk mengatasi ketimpangan sosial, meningkatkan kesehatan, dan pembangunan infrastruktur serta sumber daya manusia (SDM) di komunitas sekitarnya,” ujar Wira A Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, dalam keterangan tertulis.
Koordinator Pembiayaan Berkelanjutan IESR, Farah Vianda menambahkan bahwa pemerintah perlu memprioritaskan isu transisi berkeadilan dan meningkatkan kapasitas dalam perencanaan awal dan mobilisasi kapasitas pendanaan serta institusi untuk mempersiapkan pekerjaan baru dan memberdayakan para pekerja terdampak di sektor batubara.
“Pemerintah perlu membentuk tim khusus untuk membuat isu transisi berkeadilan ini menjadi prioritas. Selain itu, perlu peningkatan kapasitas pemerintahan dalam perencanaan, pembuatan kebijakan, serta sistem tata kelola dan perlindungan lingkungan,” papar Farah.
Selain manfaat sosial bagi pekerja terdampak, pengakhiran operasional PLTU batubara juga memiliki dampak positif terhadap lingkungan dan ekonomi. Kemudian menghindari biaya kesehatan. Berdasarkan skenario yang sejalan dengan target JETP, pengakhiran operasional PLTU batubara akan mampu mengamankan USD 150 miliar atau sekitar Rp 2.400 triliun pada 2050.
Menurut Analis Kebijakan Iklim dari New Climate Institute, Reena Skribbe, pengurangan polusi udara akan memberikan manfaat ekonomi yang signifikan. Pengakhiran operasional PLTU akan mengurangi tingkat polusi mencapai 12 persen berdasarkan skenario sesuai target JETP dan 18 persen berdasarkan skenario sejalan Persetujuan Paris, dari PDB tahunan Indonesia saat ini. Bahkan saat ini, masih terdapat 48 GW PLTU yang masih beroperasi dan 20 GW lainnya yang masih dalam rencana.
“Dengan pengurangan pembakaran batubara, biaya yang dapat dihindari dari pengurangan polusi udara besarnya berkali lipat dari pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP),” kata Reena.
Sementara itu, dengan skenario yang sejalan dengan Persetujuan Paris atau pembatasan suhu bumi 1,5 derajat Celcius, biaya kesehatan yang dapat dihindari dari pengakhiran operasional PLTU sekitar USD 230 miliar atau sekitar Rp 3.680 triliun pada pertengahan abad ini.
Keseluruhan, pembiayaan yang memadai dan penanganan yang terarah diperlukan untuk memastikan transisi energi menuju keberlanjutan tidak hanya berjalan lancar secara teknis, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. (Hartatik)