Pensiun dini PLTU, ambisi atau basa-basi?

Jakarta – Tuntutan untuk menyediakan energi bersih semakin mendesak di seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang juga berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satu langkah besar dalam mencapai tujuan ini adalah pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara. Regulasi yang mendukung pengakhiran PLTU sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang diterbitkan pada 13 September 2022. Perpres ini melarang pembangunan PLTU baru, kecuali yang sudah tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum peraturan berlaku, atau PLTU yang terintegrasi dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam 10 tahun sejak beroperasi. Dalam regulasi ini, PLTU diizinkan beroperasi maksimal hingga tahun 2050.

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), pensiunnya seluruh PLTU di Indonesia pada tahun 2045 adalah langkah kunci untuk mencapai bebas emisi pada 2050, sejalan dengan target Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Sementara itu, untuk selaras dengan pencapaian target kenaikan temperatur global 1,5 derajat Celsius maka 2 – 3 GW kapasitas PLTU batubara perlu berhenti operasinya secara bertahap tiap tahun hingga 2045.

“Namun, untuk merealisasikan pensiun dini PLTU batubara, ada tiga faktor utama yang perlu dipertimbangkan. Pertama, pasokan listrik harus tetap andal dan tidak terganggu oleh pengakhiran PLTU. Kedua, penghentian operasional PLTU harus memberikan kontribusi signifikan terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Ketiga, harus ada kapasitas pengganti dari energi terbarukan yang siap menggantikan PLTU di sistem kelistrikan tersebut,” ujar Fabby.

Untuk mengurangi biaya pengakhiran PLTU, Fabby menyarankan agar usia PLTU yang mencapai 20 tahun bisa menjadi pertimbangan untuk pensiun dini. Selain itu, teknologi PLTU batubara yang masih subcritical—yang intensitas emisinya sangat tinggi—juga perlu menjadi prioritas untuk dihentikan, terutama di wilayah yang pasokan listriknya berlebih (overcapacity).

“Dengan regulasi yang mendukung dan kajian yang kuat, pensiun dini PLTU memang terlihat sebagai langkah ambisius yang dapat mendukung transisi energi Indonesia. Namun, tantangan utama tetap ada pada implementasi yang membutuhkan kolaborasi berbagai pihak dan penyediaan energi terbarukan yang memadai. Dalam konteks ini, penting untuk melihat seberapa serius pemerintah dan pemangku kepentingan dalam menyiapkan peta jalan energi terbarukan yang jelas dan realistis. Jika berhasil, transisi ini bukan hanya akan mengurangi emisi, tetapi juga membuka jalan bagi sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan di masa depan,” tegas Fabby.

Acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 yang akan berlangsung pada 4-6 November 2024 dapat menjadi momen penting untuk mendiskusikan arah kebijakan transisi energi Indonesia sehingga mampu menyediakan energi terbarukan untuk sektor industri. Tema IETD 2024 adalah “Merealisasikan Transisi Energi yang Adil dan Terarah”. Masyarakat Indonesia dapat terlibat dalam acara IETD 2024 dengan mendaftar di ietd.info.

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi media partner tanahair.net dan Institute for Essential Services Reform (IESR)

Sumber:
https://iesr.or.id/pengakhiran-dini-pltu-batubara-jadi-langkah-krusial-menuju-nze/
https://iesr.or.id/pensiun-dini-pltu-faktor-penentu-capai-nze-yang-ambisius/
https://iesr.or.id/ulas-efektivitas-alokasi-apbn-untuk-transisi-energi/

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles