Pendanaan JETP terancam pasca AS tarik diri dari perjanjian iklim

Jakarta – Keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris tentang perubahan iklim menjadi ancaman besar bagi kelangsungan pendanaan transisi energi di Indonesia. Salah satu yang paling terdampak adalah inisiatif Just Energy Transition Partnership (JETP), sebuah kerja sama pembiayaan internasional yang dirancang untuk mendukung peralihan energi bersih di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

“Langkah Amerika Serikat untuk meninggalkan Perjanjian Paris memberikan sinyal negatif bagi masa depan JETP. AS adalah salah satu kontributor utama dalam pendanaan ini, dan tanpa keterlibatan mereka, kelangsungan JETP menjadi sangat tidak pasti,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), dalam keterangannya, Rabu, 22 Januari.

JETP, yang terdiri dari kelompok negara maju seperti Jepang, Kanada, Jerman, dan Uni Eropa, bertujuan untuk mendukung pendanaan proyek transisi energi di Indonesia. Namun, dengan mundurnya AS, negara yang menjadi salah satu pemimpin inisiatif tersebut, alokasi dana untuk proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia dapat terganggu.

“Jika AS benar-benar menarik diri sepenuhnya, ada kemungkinan JETP akan dibubarkan atau tidak berjalan mulus. Ini menjadi pukulan berat bagi transisi energi di Indonesia, mengingat pendanaan dari AS selama ini berkontribusi signifikan terhadap proyek-proyek energi terbarukan,” tambah Bhima.

JETP Indonesia telah dirancang untuk mendukung langkah-langkah konkret dalam menghentikan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dan mempercepat pembangunan pembangkit energi terbarukan, seperti PLTS di Waduk Cirata.

Bhima menyarankan pemerintah Indonesia untuk segera mencari alternatif mitra pendanaan guna mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat. “Negara-negara Timur Tengah bisa menjadi opsi yang potensial. Mereka telah menunjukkan komitmen terhadap pengembangan energi terbarukan, seperti pada proyek PLTS Cirata, dan memiliki kapasitas pendanaan yang besar,” katanya.

Dampak global

Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, menyatakan bahwa keputusan AS tidak hanya berdampak pada Indonesia, tetapi juga pada upaya global dalam menekan emisi gas rumah kaca.

“Kapasitas negara berkembang seperti Indonesia untuk memenuhi target transisi energi sangat bergantung pada dukungan negara maju. Dengan mundurnya AS, target penurunan emisi gas rumah kaca secara global akan semakin sulit dicapai,” jelas Faisal.

Faisal menambahkan bahwa langkah AS dapat memberikan preseden buruk. “Jika negara sebesar AS tidak berkomitmen pada energi hijau, negara berkembang mungkin merasa tidak perlu menaati Perjanjian Paris, mengingat keterbatasan dana dan teknologi yang mereka miliki,” ungkapnya.

Mundurnya AS dari Perjanjian Paris juga memberikan tekanan bagi Indonesia untuk segera mengamankan sumber pendanaan lain, baik dari negara maupun lembaga multilateral. “Indonesia harus membangun kerja sama baru yang mampu menopang pembiayaan transisi energi. Tanpa itu, proyek-proyek strategis yang dirancang untuk mendukung bauran energi bersih bisa terhenti,” ujar Bhima.

Perjanjian Paris adalah kesepakatan internasional yang bertujuan menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk menurunkan emisi hingga 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030.

Dengan situasi terkini, Bhima mendesak pemerintah untuk tidak hanya bergantung pada JETP, tetapi juga menjajaki sumber pendanaan alternatif dari mitra non-tradisional. “Langkah ini krusial untuk menjaga momentum transisi energi di Indonesia dan memastikan keberlanjutan proyek-proyek energi bersih,” tegasnya. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles