Pemilihan energi hijau perlu pertimbangkan dampak lingkungan

oleh: Hartatik

Jakarta – Tidak semua energi hijau dapat diterapkan sebagai upaya untuk melakukan transisi energi. Sebenarnya sejak bertahun-tahun lalu masyarakat Indonesia telah melakukan upaya transisi energi, tetapi banyak upaya yang dilakukan justru memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan.

Aktivis Extincion Rebellion Indonesia, Melissa Kowara memberi contoh, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Poso, yang justru malah merusak lingkungan karena telah membabat habis lahan hijau yang ada di wilayah tersebut. “Banyak solusi untuk melakukan transisi energi melalui cadangan energi yang sudah tersedia saat ini,” ungkapnya kepada tanahair.net.

Ia menjelaskan contoh lain seperti penggunaan atap dengan panel surya, pembuatan kincir angin dalam skala rumah tangga serta adanya energi biogas. Hal ini, lanjutnya, merupakan salah satu contoh bagaimana masyarakat mengimplementasikan solusi transisi energi dalam skala yang kecil.

“Adanya solusi dari masyarakat ini sangat berguna dalam upaya mengurangi energi kotor dan meningkatkan ekonomi masyarakat serta menjadi tameng pertahanan dalam fenomena krisis iklim,” imbuhnya.

Lebih lanjut, menurutnya, segala jenis rencana dan ide dilakukan untuk menuju transisi energi akan memberikan dampak yang lebih baik. Tapi ada satu hal yang mungkin dilupakan, yaitu bagaimana cara melakukannya dan siapa yang akan melakukannya. Apalagi transisi energi tidak hanya melibatkan pemerintah dan orang yang kompeten pada bidang ini, namun juga melibatkan semua jenis dan kalangan dalam masyarakat.

“Mulai dari sekarang pemerintah harus memberikan sedikit demi sedikit pemahaman kepada masyarakat agar nantinya semua rencana dapat berjalan dengan baik,” tutur Melissa.

Salah satu masalah yang sudah jelas dihadapi oleh masyarakat adalah polusi udara. Sehubungan itu pemerintah harus mencari solusi terkecil dengan masyarakat tentang bagaimana mengurangi sedikit dari polusi udara tersebut.

Fabby Tumiwa, Executive Director dari Institute of Essential Services Reform (IESR) mengatakan bahwa Indonesia hanya mempunyai waktu kurang dari satu dekade untuk dapat memangkas emisi gas rumah kaca secara besar-besaran. Menurutnya, Indonesia harus melakukan transisi energi dengan cara melakukan perubahan terhadap pengembangan sumber daya energi berbasis fosil.

“Listrik merupakan salah satu sumber daya energi terbesar di negara kita, pembangkit listrik saat ini harus menerapkan bauran energi terbarukan agar terjadi pengurangan energi kotor secara besar-besaran,” ujar Fabby dalam acara Muda Bersuara 2022: Aspirasi Iklim Generasi Emas 2045 untuk Presidensi G20 Indonesia” yang digagas FPCI bersama dengan 30 universitas di Indonesia, Kamis (29/9).

Indonesia pada 2045 ingin keluar dari zona penggunaan energi kotor yang nyatanya berdampak dalam merusak iklim dan lingkungan. Untuk itu perlu adanya transisi energi yang akan merubah energi kotor menjadi energi bersih.

“Dampak yang dihasilkan nantinya bukan hanya bagi sektor energi, namun juga sektor lahan yang nantinya akan menjadikan lingkungan menjadi lebih baik,” tukasnya.

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles