Jakarta – Pemerintah semakin gencar mendorong industri smelter di Indonesia untuk meninggalkan ketergantungan pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dan beralih ke energi baru terbarukan (EBT). Salah satu sumber energi yang diusulkan adalah tenaga matahari, yang dianggap lebih ramah lingkungan dan sejalan dengan komitmen global dalam mengurangi emisi karbon.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa banyak perusahaan smelter telah menunjukkan kepedulian lebih terhadap lingkungan dalam proses investasi mereka.
“Sekarang para pelaku usaha tidak hanya memikirkan keuntungan, tetapi juga dampak lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah akan mendorong agar smelter-smelter ini beralih ke pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan,” kata Bahlil dalam acara Kumparan Green Conference disiarkan streaming, Rabu, 25 September.
Menurut Bahlil, langkah ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang pemerintah untuk mengurangi emisi karbon di sektor industri, khususnya dalam hilirisasi sumber daya alam seperti nikel. Salah satu contoh yang ia sebutkan adalah kawasan Wedabai, di mana industri hilirisasi nikel sedang dikembangkan.
“Di Wedabai, mereka membangun industri hilirisasi dengan kapasitas pembangkit listrik sekitar 8.000 hingga 10.000 megawatt, dan itu semua akan diubah menjadi energi baru terbarukan,” jelasnya.
Konversi bertahap menuju energi terbarukan
Pemerintah menargetkan konversi energi di industri smelter akan dilakukan secara bertahap. Bahlil menyebutkan bahwa beberapa perusahaan sudah berkomitmen untuk mulai beralih ke energi terbarukan pada 2025, dengan target signifikan pada 2030.
“Kita sudah diskusi dengan mereka, dan di tahun 2025 mereka akan mulai menggunakan panel surya. Pada tahun 2030, minimal 60-70 persen dari mereka diharapkan sudah menggunakan energi baru terbarukan,” tambahnya.
Tenaga matahari akan menjadi salah satu sumber energi utama yang diusulkan, terutama di wilayah-wilayah bekas tambang yang luas. Selain itu, bagi smelter yang hanya memproduksi Nickel Pig Iron (NPI), pemerintah akan lebih selektif dalam memberi izin operasi, dengan syarat penggunaan energi baru terbarukan atau minimal gas.
Bahlil mengakui bahwa peralihan ke energi terbarukan, seperti panel surya, akan meningkatkan biaya investasi awal bagi pelaku usaha. Namun, ia menegaskan bahwa produk yang dihasilkan dengan menggunakan energi bersih akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi di pasar global. “Memang Capex-nya (biaya investasi) akan lebih mahal, tetapi produk yang dihasilkan dari energi terbarukan harganya juga lebih tinggi dibandingkan produk yang masih menggunakan batu bara. Jadi, dari sisi ekonomi, ini seharusnya tidak menjadi masalah,” ujar Bahlil.
Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat mempercepat transisi energi di industri smelter, yang merupakan salah satu sektor utama dalam perekonomian Indonesia. Selain mendukung pertumbuhan industri hilirisasi, langkah ini juga menjadi bagian dari komitmen Indonesia dalam mencapai target bauran energi yang lebih hijau dan berkelanjutan. (Hartatik)