Pembangunan Terminal LNG di Bali: Kurang Sosialisasi? (2/3)

oleh: Hartatik

Pembangkit listrik tenaga batu bara di Asia Tenggara (SEA) tumbuh sebesar 12 persen pada 2019 pada saat negara-negara lain di dunia mengurangi penggunaan batu bara. Adalah kenyataan yang ironis bahwa kawasan ini berkontribusi dan sangat terpengaruh oleh perubahan iklim, karena ketergantungannya pada batu bara. Masyarakat Asia Tenggara sekarang terpaksa menghadapi bahan bakar fosil lain: gas alam, yang lebih tepat disebut sebagai gas fosil.

Masyarakat adat di Desa Adat Intaran, Sanur, Bali menentang keras rencana pembangunan terminal gas alam cair (LNG) di wilayah mereka.

Ida Bagus Ketut Purbanegara, Humas PT Dewata Energi Bersih (PT DEB), pelaksana proyek instalasi terminal LNG, menegaskan kilang tersebut aman dan tidak menyalahi aturan. Ia pun tetap menghormati perbedaan pendapat yang bergulir di masyarakat dan menganggap penolakan itu wajar, lantaran kurangnya sosialisasi tentang manfaatnya untuk Bali.

Purbanegara menjelaskan, rencana mega proyek energi terbarukan itu diawali dengan rencana pembangunan terminal penyimpanan LNG di kawasan blok khusus, Pedungan, Sidakarya, Kota Denpasar.

Adanya stigma yang timbul di masyarakat tentang dugaan adanya dampak negatif dari pembangunan terminal LNG, misalnya bisa menimbulkan ledakan, pengeboran, dan merugikan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dikatakannya tidak tepat.

Menurutnya, persoalan ini hanya masalah minimnya pemahaman masyarakat tentang LNG itu sendiri. Dengan adanya rencana tersebut justru akan memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar.

“Ada juga yang mengatakan pembangunan terminal LNG ini akan membabat 16 hektar lahan mangrove, ini juga perlu kita luruskan. Memang betul, di sana ada blok khusus (mangrove) seluas itu, tetapi yang kami manfaatkan hanya 3 hektar saja, jadi tidak ada kami akan membabat habis hutan mangrove di situ,” jelas Purbanegara.

Selain itu, lanjutnya Terminal LNG Sidakarya dan jalur pipa gas sudah tercantum dalam tata ruang tata wilayah Kota Denpasar, sesuai Perda Kota Denpasar No 8 Tahun 2021. Dan, pembangunan kilang LNG itu nantinya mendukung penggunaan energi bersih untuk pembangkit listrik, sehingga ada tambahan pembangkit 2×100 MW.

Dalam tahap awal ini, kata dia, pembangunan yang direncanakan adalah membuat dermaga Jetty untuk kapal pengangkut LNG dari Ladang Gas Tangguh, Papua yang letaknya sekitar 500 meter dari pantai. Mengenai kekhawatiran bahwa dermaga akan merusak terumbu karang, menurut informasi yang didapatnya, terumbu karang di wilayah itu adalah jenis karang yang sudah mati. Selanjutnya, akan ada penanaman pipa untuk penyaluran gas di kedalaman 10 meter dari Jetty ke terminal LNG yang melewati area mangrove.

“Dengan kedalaman 10 meter itu, pipa tidak akan mengganggu akar mangrove yang hanya sampai di kedalaman sekitar 6 meter,” ujarnya.

Terkait masalah keberadaan Pura, dia memastikan, tidak akan mengganggu kesucian Pura. Adapun mengenai tata ruang tata wilayah, menurutnya, memang ada yang tidak sinkron antara Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 8/2021 yang menyebut wilayah Sidakarya sebagai blok khusus untuk pemanfaatan LNG dengan Peraturab Provinsi Bali Nomor 3/2020 yang menyatakan daerah itu merupakan wilayah konservasi. Terkait hal itu, pihaknya mengacu pada ketentuan UU Cipta Kerja dimana disebutkan bahwa bila ada aturan yang berbeda maka yang dijadikan acuan adalah ketentuan yang terbaru. “Dalam hal ini adalah perda Kota Denpasar,” ujarnya.

Adapun proyek terminal LNG ini semula akan dibangun di Pelabuhan Benoa dan dikelola oleh PT Pelindo Energi Logistik (PT PEL). Namun akhirnya direlokasi ke wilayah Desa Sidakarya, Denpasar. Pengembangan infrastruktur LNG Terminal Bali itu ditargetkan beroperasi untuk memasok gas ke Pembangkit Listrik Tenaga Diesel dan Gas (PLTDG) Pesanggaran pada awal 2023.

Untuk pemenuhan bahan bakar pembangkit listrik gas di Pesanggaran akan memanfaatkan LNG yang saat ini PLN telah memiliki kontrak jangka panjang dengan produsen LNG, BP Tangguh. Sebagai pelaksanaannya ditunjuk anak perusahaan PT PLN (Persero), yakni PT PLN Gas dan Geothermal (PLN GG) dengan struktur kepemilikan saham 51 persen, dan perusahaan daerah milik Pemerintah Provinsi Bali, yaitu PT Dewata Energy Bersih (DEB) dengan 49 persen saham. Pemerintah pusat dan daerah ingin mempercepat pemanfaatan gas dengan membangun infrastruktur terminal LNG, karena ditargetkan pemanfaatannya akan meningkat menjadi 22 persen pada 2025 termasuk di Bali.

Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Dinas Tenaga Kerja dan Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Bali, Ida Bagus Setiawan mengatakan, penambahan energi di Bali harus yang bersih sesuai dengan regulasi dan arah kebijakan Pemerintah Bali, yakni tidak lagi menggunakan pembangkit berbahan batubara maupun bahan bakar minyak, melainkan hanya menggunakan gas bumi.

“Artinya akan ada transisi energi, sementara menuju transisi energi baru terbarukan, gas alam menjadi pondasi yang paling andal,” paparnya.

Diakui Gus Setiawan, untuk gas alam, Bali memang tidak memiliki tetapi untuk pembangkit listrik di Bali bisa memilikinya sebab sudah ada relokasi pembangkit, yang memerlukan terminal penerima untuk bisa masuknya gas dari luar, agar bisa dimanfaatkan sebagai sumber bahan pembangkit listrik tenaga gas di Bali. Proyeksinya dengan adanya event G20 dan ke depannya berharap kondisi Bali kembali pulih, serta pastinya beban puncak pemakaian listrik hampir mencapai 1.000 MW bisa teratasi.

Hal inilah yang harus bisa dipersiapkan. Gus Setiawan melanjutkan, dengan adanya LNG, Bali mempunyai keandalan listrik dan tidak lagi tergantung energi dari luar, dan sudah pasti perlu memerankan peran serta daerah dalam pengelolaan energi. Sebab akan ada pendapatan untuk daerah melalui badan usahanya. Ke depan rencananya semua pembangkit diesel akan dikonversi ke gas, sehingga Terminal LNG di Pelindo Benoa tidak akan mencukupi. Dengan demikian perlu dibangun Terminal LNG yang lebih khusus dan menjamin gas itu selalu ada.

“Dan kita ingin agar LNG itu tidak dikuasai dari luar, karena pemerintah daerah tidak akan dapat apa-apa. Kita jangan terus jadi penonton saja, tapi kita harus menjadi penarinya langsung,” sentilnya.

Ia menegaskan belum pernah ada Terminal LNG yang ada risiko, karena semuanya sistem pembangkit bisa dikelola dengan proses tertutup dan tidak proses terbuka, sehingga tidak banyak ada pencemaran. Apalagi infrastruktur di darat hanya penampungan atau terminal LNG-nya saja. Sedangkan di pelabuhan hanya lalu lalang kapal yang mengangkut LNG yang dibawa dari tempat lain. Bahkan di sana akan bisa tumbuh usaha baru, seperti peluang memfungsikan cold storage yang bisa didapat cuma-cuma atau gratis untuk meningkatkan komoditi ekspor.

“Karena dalam proses mengubah dari liquid menjadi gas, maka ada energi dingin yang ke luar. Energi ini bisa ditampung dalam cold storage yang bisa dimanfaatkan gratis oleh nelayan lokal,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali, IGW Samsi Gunarta menjelaskan, penyaluran minyak dan gas untuk proyek Terminal LNG ini, dipastikan sudah ada rekomendasi lingkungan yang wajib diikuti.

“Kalau mau melakukan pengerukan dan berisiko, harus tertuang di dokumen rencana pengelolaan lingkungan yang merupakan bagian dari analisis dampak lingkungan,” imbuhnya.

Dikatakan, pengerukan pasir untuk alur kapal bisa dilakukan kalau ada izin dan proses perizinan berbasis risiko mengacu pada hasil analisis dampak lingkungan. Kalau ada hal-hal yang tidak dipenuhi secara teknis maupun lingkungan atau tidak diperkirakan akan memberikan risiko tinggi, pasti harus mendapatkan penanganan khusus.

“Izin nggak keluar kalau hal-hal yang dipersyaratkan dalam dokumen lingkungan tidak dapat dipastikan, dan proyek bisa dihentikan kalau hal demikian tidak dipenuhi.”

Proses yang sama akan terjadi di Sidakarya, karena diperlukan pengerukan alur. Studi akan memberikan rekomendasi hal-hal yang harus dilakukan untuk meminimasi dampak yang timbul dari sisi fisik-kimia, biologi, sosial, dan lalu lintas, termasuk bagaimana memantaunya pada saat prakonstruksi, konstruksi, dan pasca konstruksi.
Diketahui, pemerintah pusat dan daerah juga ingin mempercepat pemanfaatan gas dengan membangun infrastruktur terminal LNG, karena ditargetkan pemanfaatannya akan meningkat menjadi 22 persen pada tahun 2025 termasuk di Bali.

Relokasi terminal LNG di kawasan Sidakarya ini merupakan upaya untuk mewujudkan ketahanan energi nasional, utamanya dalam memenuhi kebutuhan listrik di Bali dan Indonesia wilayah timur, termasuk untuk ketahanan pariwisata Bali di masa mendatang. Hal ini sesuai dengan program pemerintah yang memutuskan pada tahun 2030 Provinsi Bali akan menggunakan green energy. Oleh karenanya, harus terus membangun pembangkit listrik ramah lingkungan dengan dukungan Terminal LNG ini.

Bagian 1: Pembangunan Terminal LNG Mengorbankan Hutan Bakau dan Ekosistem Laut Bali

Bagian 3: Pembangunan Terminal LNG di Bali: Menunda Transisi Energi

Foto banner: Relokasi Terminal LNG dari rencana di Pelabuhan Tanjung Benoa ke kawasan khusus mangrove Taman Hutan Rakyat Ngurah Rai di Desa Sidakarya, Bali menuai protes dari perwakilan Desa Adat Intaran, pada awal Juni 2022. (Sumber: Dok Walhi Bali)

Liputan mendalam ini diterbitkan melalui dukungan dari Fellowship Jurnalisme LNG ASEAN bersama Climate Tracker dan CEED.

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles