oleh: Hartatik
Penggunaan LNG akan menutup ruang bagi penggunaan energi bersih dan terbarukan seperti yang terjadi dengan batubara saat ini. Padahal sebagai sumber listrik, lanjutnya, Indonesia memiliki potensi energi matahari sebesar 207 Giga Watt (GW), tapi baru digunakan sekitar 0,1 GW. Selain menyebabkan krisis iklim di hulu, pengembangan LNG dan infrastrukturnya yang masif juga dapat memiliki dampak sosial dan lingkungan seperti yang terjadi di Bali.
Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Southeast Asia-Indonesia, Tata Mustasya menilai, transisi energi seharusnya dilakukan dengan lompatan secara langsung dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan. Seperti energi matahari yang sumber dayanya melimpah dan pemanfaatannya masih sangat minimal.
“Transisi ke gas selain tidak menyelesaikan persoalan krisis iklim akibat emisi karbon, meski emisi dari gas lebih rendah dibandingkan batu bara misalnya, juga akan menunda transisi energi yang bisa sampai puluhan tahun,” ungkap Tata.
“Bali seharusnya juga melakukan transisi energi dari PLTU batubara ke energi bersih dan terbarukan, tapi justru berencana transisi ke gas. Padahal Bali memiliki potensi energi matahari yang melimpah.”
Menurut Tata, dari segi keekonomian, biaya pembangkitan energi surya sudah turun 90 persen selama 10 tahun terakhir sehingga di beberapa negara di Asia Tenggara sudah lebih rendah dibandingkan batubara. Di Indonesia, lanjutnya, jika ada kebijakan insentif yang kondusif, keekonomian energi matahari sudah bisa lebih baik bahkan dibandingkan PLTU batubara maupun gas. Ia berharap kebijakan pemerintah memilih LNG sebagai energi transisi tidak mengulangi pengalaman oligarki batubara yang mampu bertahan hingga puluhan tahun, sehingga nantinya menunda terwujudnya transisi energi.
Hindari Konflik Lingkungan
Terpisah, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Ahmad Redi sepakat bahwa Indonesia sudah saatnya meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi baru terbarukan. Namun energi baru terbarukan ini tidak seketika bisa digunakan, sehingga perlu adanya transisi.
Meski pemerintah mengambil kebijakan untuk menjadikan LNG sebagai energi transisi, tetap harus mengedepankan kepentingan lingkungan hidup. Ketika pengembangan LNG diusahakan, sebisa mungkin tidak memiliki konflik lingkungan yang vital dan fatal, seperti merusak kawasan mangrove, kawasan lindung dan kawasan konservasi.
“Jadi memang dihindari pengusahaan sumber energi LNG di tempat-tempat yang memiliki potensi kerusakan lingkungan yang masif. Misal (terminal LNG) di Bali harus dipertimbangkan lagi apakah ada potensi kerusakan besar jika tetap diusahakan,” ujarnya.
Namun jika tetap diusahakan, tempat itu nantinya juga harus bisa dikendalikan dampak kerusakan lingkungannya. Dengan demikian tidak memberikan kerusakan lingkungan yang parah bagi kepentingan sosial dan ekologi.
Menyoroti pembangunan infrastruktur LNG di tepi pantai, Dosen Hukum Universitas Tarumanegara ini menilai sebagian besar sumber daya alam memiliki potensi menggunakan pesisir sebagai tempat terminal. Begitu pun dengan batubara dan LNG.
“Saya kira analisis dampak lingkungan harus dilakukan secara betul, agar dampak sosial, lingkungan dan ekonomi bisa dihitung betul-betul dalam konteks ekonomi lingkungan yang baik. Jangan pula ada terminal LNG, tapi biaya lingkungannya tinggi lantaran tidak berbasis kepentingan lingkungan hidup. Itu justru menjadi beban bagi negara,” imbuhnya,
Sementara itu, Pakar Biologi Kelautan dan Departemen Oseanografi Universitas Diponegoro, Prof Muhammad Zainuri mengungkapkan, meski lebih rendah dampaknya dibanding energi fosil lainnya, LNG sama-sama menghasilkan emisi karbon. Terkait pembangunan terminal LNG di Bali yang berada di kawasan mangrove, menurutnya tetap ada risiko meski tanaman mangrove berfungsi sebagai buffer gas CO.
“Jika gas CO tidak tertangkap oleh daerah hijau maka akan terakumulasi di udara dan akan membentuk ion, molekul maupun atom yang turun bersama hujan,” ungkap Zainuri.
Akibatnya LNG akan mengakibatkan laut menjadi lebih asam, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan di dalamnya. Selain itu jika terjadi keasaman di laut, tingkatan proses fotosintesa akan menurun. Akibatnya jumlah udara yang akan mengalirkan oksigen menjadi berkurang. Ketika produksi gas CO meningkat, kemampuan laut dan udara untuk menahan panas menjadi menurun. Kondisi itu tentu membuat suhu udara menjadi lebih panas baik di laut maupun atmosfer.
“Jika temperatur itu naik maka kelembaban akan menurun. Kelembaban adalah kandungan O2 dan air di udara yang dibutuhkan tubuh kita. Itulah kenapa para ahli lingkungan tidak sepakat adanya proyek LNG di tepi pantai,” jelasnya.
Mengurangi Biodiversitas
Selain itu, Zainuri menambahkan, terganggunya proses fotosintesa di laut akibat akumulasi gas CO dan kenaikan suhu dari proyek LNG berpengaruh terhadap kelangsungan fitoplankton dan zooplankton. Di wilayah pesisir, zooplankton ini sebagian besar adalah anak-anak ikan, anak-anak udang maupun anak-anak biota laut lainnya.
Jika fotosintesa tidak berjalan, makanan kurang tersedia, suhu laut dan atmosfer menjadi lebih panas, tentu menyebabkan anak-anak udang dan ikan ini akan gagal bermetamorfosa, bertelur, dan bereproduksi sehingga jumlah larva mereka menurun.
Dalam beberapa hal, anak-anak ikan ini adalah biota yang sangat spesifik atau endemik (hanya ada di daerah tersebut saja). Jika suatu saat berkurang atau menghilang karena sebagian ikan dewasanya ditangkap terus, maka suatu saat kondisi ini akan mengurangi jumlah jenisnya. Jumlah jenisnya inilah yang berkaitan dengan biodiversitas.
Zainuri menambahkan, meski LNG disebut sebagai energi bersih namun tetap memiliki risiko terhadap lingkungan. Pasalnya, industri LNG membutuhkan proses pendinginan yang menggunakan air dari laut. Selanjutnya, air tersebut dibuang kembali ke laut sebagai polutan atau limbah dan air buangan ini tentu menjadi lebih panas.
“Kalau airnya panas maka lautnya menjadi lebih panas dan jumlah karbonnya menjadi lebih meningkat. Jadi ada dua tekanan sehingga kehidupan (di laut) menjadi berkurang.”
Ia pun merekomendasikan sistem remidiasi pada unit pengolahan limbahnya. Sistem ini mengembalikan air laut yang digunakan untuk pendinginan sesuai kondisi semula. Semisal temperatur airnya tidak terlalu panas dan kandungan nutrisinya tidak berubah. Hanya saja sistem remidiasi ini masih terbilang mahal.
Prinsip dasarnya teknologi sudah menjawab, tapi setiap perusahaan biasanya jika ingin investasi untuk teknologi pengolahan limbah selalu mereka minimalis. Itulah kenapa sebagian besar industri berada di pinggir pantai, karena agar mudah membuang limbah sehingga tidak perlu teknik mengolah limbah yang butuh biaya besar.
“Kita butuh lautnya tetap biru, menghasilkan oksigen. Limbah itu sifatnya akumulatif, jadi terkumpul terus setiap tahun bertambah. Kalau tidak ditangani ya bermasalah,” imbuhnya.
Ia menyayangkan sudut pandang pemerintah dalam menangani pencemaran lingkungan hanya dalam jangka lima tahunan. Padahal kontrak operasional terminal LNG nantinya bisa sampai 50 tahun. Sudah saatnya pemerintah membuat regulasi di mana industri setiap tahunnya menyisihkan 10-25 persen dari modal awal untuk pengolahan limbah.
Pengembangan Infrastruktur LNG
Saat ini pemerintah Indonesia sedang fokus meningkatkan akses masyarakat terhadap listrik di seluruh pelosok Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menargetkan program kelistrikan nasional sebesar 35.000 MW. Dari 35.000 MW tersebut, 38% suplai listrik berasal dari gas dengan kapasitas 1.009 MMSCFD. Sebesar 319 MMSCFD gas diperlukan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia bagian timur. Untuk mengatasi tantangan dalam menyalurkan gas ke lokasi pembangkit yang tersebar dan tidak ada jaringan gas pipa, maka gas bumi perlu diubah menjadi LNG agar lebih mudah menjangkau lokasi pembangkit listrik.
Pemerintah telah membangun beberapa infrastruktur pembangkit listrik berbasis LNG. Rencana pembangunan infrastruktur tersebut semakin berkembang, dengan direncanakannya pembangunan fasilitas LNG/mini LNG dan dilakukannya lelang fasilitas LNG, baik di kawasan Sumatera, Indonesia bagian Tengah, dan Indonesia Bagian Timur.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mendorong pembangunan terminal mini LNG dengan moda transportasi truk untuk wilayah terpencil yang tidak terjangkau pipa sejak 2018. Pada 2020, PT Perusahaan Gas Negara Tbk ( PGN) bekerja sama dengan PT Perusahaan Listrik Negara ( PLN) menyediakan pasokan dan pembangunan infrastruktur LNG di 52 lokasi pembangkit listrik PLN se-Indonesia.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Tutuka Ariadji mengatakan, pemerintah menawarkan kemudahan berusaha dan fasilitas pendukung bagi investor, mulai dari regulasi, perizinan, hingga insentif fiskal maupun nonfiskal untuk berkontribusi dalam mengembangkan cadangan gas. Saat ini konsumen gas terbesar di Indonesia adalah industri, listrik, dan pupuk. Adapun sekitar 22,57% diekspor dalam bentuk LNG, dan 13,13% diekspor melalui pipa. Total konsumsi gas mencapai 5.734,43 BBUTD.
Untuk menjaga ketahanan energi, Indonesia menargetkan produksi gas bumi sebesar 12 BSCFD pada 2030. Berdasarkan Neraca Gas Indonesia, diperkirakan ada potensi surplus untuk memasok kebutuhan industri baru di dalam negeri atau untuk diekspor. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, khususnya untuk industri maupun pembangkit listrik, Pemerintah Indonesia terus meningkatkan pembangunan infrastruktur, misalnya pipa gas. Selain itu, pengembangan pipa LNG skala kecil dan virtual juga penting untuk mengamankan pasokan energi di daerah-daerah tertentu dengan kendala geografis, seperti di pulau-pulau kecil yang tersebar, terutama di bagian timur negara itu.
Laporan studi CEED tentang “Financing a Fossil Future, Tracing The Money Pipeline of Fossil Gas in Southeast Asia” mengungkapkan, Thailand dan Indonesia berada di puncak ekspansi pembangkit gas. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memiliki jumlah pembangkit listrik tenaga gas terbanyak yang telah dibangun dan diusulkan di Asia Tenggara dari tahun 2016 dan seterusnya. Sebanyak 19 pembangkit listriknya menyumbang 67% dari total pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan gas fosil.
Adapun Indonesia dan Kamboja memiliki paling banyak jaringan pipa gas yakni 65% dari jaringan pipa gas baru di wilayah SEA. Kamboja memiliki proyek pipa gas terbanyak dengan panjang gabungan 2.553 km, diikuti oleh Indonesia sepanjang 2.249 km, dan Thailand menempati urutan ketiga dengan 1.113 km.
“Pengembangan gas tersebut berkembang dengan pesat di SEA, lebih dari lima tahun sejak adopsi Perjanjian Paris pada 2015. Ini dikarenakan ada lembaga-lembaga keuangan yang membangun reputasi sebagai musuh iklim dan energi bersih, bukannya meningkatkan kebijakan energi dan keberlanjutan mereka,” beber terang Gerry Arrances, Executive Director CEED.
Bagian 1: Pembangunan Terminal LNG Mengorbankan Hutan Bakau dan Ekosistem Laut Bali
Bagian 2: Pembangunan Terminal LNG di Bali: Kurang Sosialisasi?
Foto banner: Perwakilan masyarakat adat dan pegiat lingkungan melakukan sksi unjuk rasa penolakan Terminal LNG di Sidakarya, Denpasar, Bali, Rabu (22/6). (Sumber: Dok Walhi Bali)
Liputan mendalam ini diterbitkan melalui dukungan dari Fellowship Jurnalisme LNG ASEAN bersama Climate Tracker dan CEED.