Pekalongan, kota yang tenggelam

Ahmad, 42, istrinya Sofyah, 39, dan ketiga anaknya tinggal selama tiga tahun di ‘waterworld’. Rumah mereka, sebuah rumah dengan tiga kamar di lingkungan Pasirsari di Pekalongan barat telah sering kebanjiran sejak tahun 2019. (tanahair.net/nsh)

oleh Nabiha Shahab

Pekalongan, Jawa Tengah – Hampir tiga tahun Ahmad, 42, istrinya Sofyah, 39, dan ketiga anaknya hidup di ‘waterworld’. Keluarga ini tinggal di sebuah rumah dengan tiga kamar tidur di wilayah Pasirsari, Pekalongan barat dan telah sering terendam banjir sejak tahun 2019. Pasirsari, sekitar empat kilometer ke daratan, sekarang sebagian besar berada di bawah permukaan sungai terdekat.

Kenaikan muka air laut antara lain menyebabkan Pekalongan dan daerah lain di pantai utara Jawa Tengah sering dilanda banjir, terutama pada saat air pasang.

Ahmad dan keluarganya tinggal di kompleks perumahan yang relatif baru, menghadap ke sebuah lahan terbuka sebesar lapangan sepak bola, yang sekarang hampir seluruhnya tertutup air. Rumah yang mereka tempati bukan milik pribadi. Pemilik rumah dan keluarga mereka telah lama pindah ke lingkungan lain di tempat yang lebih tinggi.

“Mereka biasanya menyewakan rumah ini, tetapi mereka mengizinkan kami tinggal di sini secara gratis selama kami menjaganya dengan baik,” kata Sofyah kepada tanahair.net, seraya menambahkan bahwa berapapun uang yang mereka sisihkan untuk membayar sewa, mereka gunakan untuk membeli tanah untuk meninggikan lantai rumah.

Banyak rumah di Pasirsari hanya terlihat setengah bagian atasnya saja. Pemilik rumah menaikkan lantai rumahnya, tetapi tidak memiliki dana yang cukup untuk menaikkan atap, sehingga menyebabkan rumah tampak tenggelam.

Sofyah, menunjuk ketinggian air yang masuk ke rumahnya terakhir kali banjir. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di bagian kamar tidur rumah yang tingginya sekitar 50 cm dari lantai rumah. Di depan kamar tidur, dia menyiapkan sebuah meja sebagai dapurnya. (tanahair.net/nsh)

Ahmad yang bekerja sebagai tukang reparasi listrik kontrak dan melakukan pekerjaan sambilan lain mengatakan bahwa dia lebih suka tinggal di tempat yang lebih baik tetapi tidak punya banyak pilihan mengingat kondisi ekonomi mereka.

Sofyah mengaku hanya melihat lantai rumah selama empat bulan setelah pindah. Setelah itu, rumah tersebut selalu terendam air setidaknya 30 sentimeter. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di bagian kamar tidur rumah yang ditinggikan sekitar 50 sentimeter. Namun, ada juga saat air naik hingga lebih dari satu meter dan merendam seluruh rumah.

Di salah satu sudut di depan kamar tidur, Sofyah memiliki meja yang ditata sebagai dapurnya. Dia mengatakan listrik di rumahnya masih berfungsi, meskipun dia khawatir karena posisi colokan listrik semakin rendah karena mereka terus meninggikan lantai. PDAM tidak lagi melayani wilayah tersebut dan mereka mendapatkan air dari Pamsimas, program air bersih dan sanitasi berbasis masyarakat yang dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Hidup dalam kondisi ekstrim seperti itu, masalah kesehatan, listrik, air bersih dan sanitasi dan bukan satu-satunya kekhawatiran keluarga. “Kami sering melihat ular… hampir setiap hari sebenarnya… tempo hari malah kami didatangi biawak,” kata Sofyah tanpa basa-basi.

‘Pantai Boom’ di bagian utara kota Pekalongan, yang secara tradisional dikenal sebagai tempat wisata lokal, sekarang berdiri tembok setinggi 2 meter, tebal lebih dari satu meter dan panjang sekitar satu kilometer, melindungi rumah masyarakat di sekitar dari intrusi air laut . (tanahair.net/nsh)

Kota berdinding

Kota Pekalongan, sekitar 100 kilometer sebelah barat ibukota provinsi Semarang, juga mengalami masalah yang sama dengan banjir rob. Banjir rob secara historis membanjiri daerah pedalaman saat air pasang, tetapi meningkat menjadi lebih tinggi dan lebih sulit surut dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir, mempengaruhi seluruh lingkungan di daerah pesisir di pantai utara Jawa Tengah.

Seperti tanpa perencanaan yang baik, proyek tanggul laut besar-besaran mulai dibangun membentengi kota. Di bagian utara kota yang dikenal sebagai ‘Pantai Boom’, yang sejak lama merupakan tempat wisata lokal, sekarang berdiri tembok setinggi 2 meter dengan tebal lebih dari satu meter dan panjang sekitar satu kilometer, melindungi rumah-rumah masyarakat di sekitarnya dari terjangan air laut.

Gambar tanggul besar dari Google Earth, dibangun pada tahun 2018 di daerah Panjang. Wilayah luas yang sebelumnya merupakan tambak udang, sawah, dan hutan bakau di utara hingga tanggul laut, kini terendam air secara permanen.

Beberapa kilometer ke barat di Panjang, tembok laut besar dibangun pada tahun 2018 hingga ke arah barat. Anehnya, tanggul itu dibangun hingga tiga kilometer ke daratan. Hal ini menyebabkan daerah yang dulunya tambak udang, sawah dan petak bakau di bagian utaranya sekarang terendam air secara permanen.

Pada bulan Juni, tanggul sungai tak jauh dari Pasirsari jebol, membanjiri ribuan rumah. Baru-baru ini, Senin (18/7), banjir rob kembali membanjiri Pekalongan bagian utara antara 40 hingga 70 sentimeter.

Arif Gandapurnama dari Mercy Corps, sebuah organisasi yang berfokus pada ketahanan perkotaan, mengatakan bahwa 1.478 hektar lahan di kota Pekalongan telah terendam banjir secara permanen pada tahun 2020. Dia merancang model prakiraan 15 tahun ke depan dengan mempertimbangkan kenaikan air laut, penurunan tanah dan faktor lainnya dan menemukan bahwa “wilayah di Pekalongan yang akan tergenang permanen dapat mencapai hingga sembilan kilometer dari garis pantai dengan luas sekitar 5.700 hektar”.

“Kami khawatir sebagian besar wilayah yang akan terkena dampak adalah perikanan, pertanian, dan pemukiman. Kita perlu segera mencari solusi untuk menyelamatkan ribuan rumah tangga yang berpotensi kehilangan mata pencaharian,” kata Gandapurnama.

Kota batik

Banjir rob dan kenaikan air laut bukan satu-satunya faktor penyebab tenggelamnya Pekalongan. Terkenal sebagai Kota Batik, Pekalongan dan sekitarnya adalah rumah bagi ratusan produsen batik skala kecil dan menengah. Pada tahun 2014, Pekalongan menjadi bagian dari Jaringan Kota Kreatif UNESCO sebagai kota kreatif kerajinan dan seni rakyat.

Industri batik banyak menggunakan air, yang sebagian besar dipompa dari tanah. Penggunaan air tanah yang berlebihan berkontribusi pada penurunan tanah di kota. “Riset kami di tahun 2019 menunjukkan rata-rata penurunan muka tanah adalah 17 sentimeter setiap tahun. Ada penelitian lain yang menunjukkan angka yang lebih tinggi di beberapa daerah hingga 30 sentimeter per tahun,” kata Gandapurnama.

“Pekalongan berada di atas sedimen muda, sehingga pengambilan air tanah secara besar-besaran menyebabkan permukaan tanah turun,” katanya.

Kota ini tidak memiliki pengelolaan air limbah batik komunal yang optimal, sehingga limbah dari proses produksi batik dibuang begitu saja ke sungai. Air limbah dari industri termasuk pewarna kimia dan logam berat yang masuk ke saluran air tanpa pengolahan apapun.

Situasinya tampak mengerikan bagi Pekalongan. Tanpa manajemen yang tepat, kota ini sebagian besar akan berada di bawah air dalam waktu yang tidak terlalu lama.

 

update 21 Juli 2022, 16:40: mengubah paragraf mengenai air limbah menjadi ‘pengelolaan air limbah batik komunal yang optimal’. 

 

Foto banner: Banyak rumah di Pasirsari, Pekalongan, yang hanya terlihat setengah bagian atasnya saja. Pemilik rumah menaikkan lantai rumahnya, tetapi tidak memiliki dana yang cukup untuk menaikkan atap, sehingga menyebabkan rumah tampak tenggelam. (tanahair.net/nsh)

Tanahair.net mengucapkan terima kasih kepada Arif Gandapurnama dari Mercy Corps, Imam Nur Huda dari Earthworm, Dicko Handono dari komunitas setempat atas bantuannya selama penelitian dan penulisan artikel.

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles