Muda-Mudi tanggapi sikap Bahlil soal Paris Agreement: Transisi energi harus jadi prioritas

Jakarta – Generasi muda yang peduli terhadap krisis iklim menilai Pernyataan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, yang mengindikasikan keinginan untuk mengikuti langkah Amerika Serikat di bawah Donald Trump keluar dari Paris Agreement, tidak hanya menghambat transisi energi, tetapi juga semakin memperkuat ketergantungan Indonesia terhadap batubara, yang telah lama dianggap sebagai penyebab utama degradasi lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Menurut Dinayah Faza, Koordinator Climate Rangers Sumatera Selatan, dalam pernyataannya Selasa, 4 Februari, keputusan ini semakin menegaskan keberpihakan pemerintah terhadap industri batubara, bahkan hingga menyeret institusi akademik dalam praktik eksploitasi sumber daya alam.

“Alih-alih mencetak generasi berpikir, kampus justru diarahkan menjadi pemain dalam bisnis tambang batubara. Ini jelas bertentangan dengan fungsi pendidikan dan hanya akan memperburuk krisis iklim yang dampaknya justru akan kami rasakan di masa depan,” tegas Dinayah.

Ia menambahkan bahwa dampak batubara sudah sangat nyata di Sumatera Selatan, di mana polusi udara meningkat, kualitas lingkungan memburuk, dan masyarakat semakin terbebani oleh dampak kesehatan akibat pembakaran batubara.

Dampak langsung PLTU terhadap masyarakat

Di berbagai daerah, dampak PLTU batubara semakin merugikan masyarakat. Rimba Zait, dari Climate Rangers Sumatera Utara, menyatakan bahwa di Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, keberadaan PLTU telah merusak sumber kehidupan nelayan dan petani setempat.

“Banyak masyarakat kehilangan penghasilan akibat pencemaran laut dan tanah yang diakibatkan oleh PLTU. Kami melihat sendiri bagaimana penyakit pernapasan meningkat, hasil pertanian merosot, dan air bersih semakin sulit didapat,” ujar Rimba.

Senada dengan itu, Izzul Munna dari Climate Rangers Cirebon menilai bahwa pemerintah seharusnya mempercepat pensiun dini PLTU, bukan malah memperkuat industri batubara. Di Cirebon, PLTU yang berdiri di kawasan tambak garam menyebabkan pencemaran air laut, yang berdampak pada penurunan kualitas garam lokal.

“Keputusan untuk tetap bergantung pada batubara hanya akan memperpanjang penderitaan masyarakat. Padahal, potensi energi terbarukan di Indonesia sangat besar, tinggal bagaimana pemerintah memfasilitasi partisipasi publik dalam pengembangannya,” ujar Izzul.

Menurut Masagus Fathan dari Climate Rangers Jakarta, ketergantungan Indonesia pada energi fosil sangat tinggi. “Saat ini, sekitar 53% listrik nasional berasal dari PLTU batubara (49,88 GW), 27% dari PLTG (25,24 GW), dan 5% dari PLTD (4,64 GW),” katanya.

“Ini membuktikan bahwa kita masih sangat tertinggal dalam transisi energi. Padahal, Indonesia memiliki lebih dari 3.500 gigawatt potensi energi terbarukan dari matahari, angin, dan air. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk terus bertahan dengan energi kotor,” tegas Fathan.

Ia juga menyoroti bahwa sikap pemerintah yang ingin mengikuti langkah AS justru mengabaikan kedaulatan energi nasional. “Menghentikan komitmen iklim hanya karena AS mundur dari Paris Agreement adalah langkah yang mengecilkan peran Indonesia di dunia internasional. Seharusnya kita justru menunjukkan kepemimpinan dalam transisi energi yang adil dan berkelanjutan,” tambahnya.

Sementara itu, Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350.org, menekankan bahwa dalam penyusunan Second Nationally Determined Contribution (SNDC), yang batas waktunya hingga Februari 2025, pemerintah harus memperkuat komitmen terhadap transisi energi.

“Transisi ke energi terbarukan bukan hanya mungkin, tapi sudah menjadi kebutuhan mendesak. Dengan melibatkan komunitas lokal, kita bisa mencapai target lebih cepat dan memastikan manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat,” ujar Sisilia.

Menurutnya, banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa pemberdayaan komunitas dalam pengelolaan energi terbarukan dapat menciptakan dampak ganda mempercepat transisi energi sekaligus meningkatkan kemandirian ekonomi lokal.

“Indonesia memiliki potensi energi bersih yang sangat besar. Jika dikelola dengan baik oleh komunitas lokal, kita bisa membangun sistem energi yang berkelanjutan tanpa bergantung pada kebijakan negara lain. Ini adalah bentuk kedaulatan energi yang sesungguhnya,” tegasnya. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles