Masyarakat sipil desak Uni Eropa untuk atasi krisis deforestasi di Papua dalam sistem tolok ukur EUDR

Jakarta – Dua puluh dua organisasi masyarakat sipil Indonesia mendesak Uni Eropa (UE) untuk mempertimbangkan krisis deforestasi yang terus meningkat di Papua sebagai bagian dari penilaian risiko di bawah Regulasi Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation/UER). Dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada para pejabat penting Uni Eropa, kelompok-kelompok tersebut menyoroti kebutuhan mendesak untuk mengklasifikasikan Papua sebagai wilayah yang berisiko tinggi karena kerusakan hutan yang meluas dan ancaman terhadap masyarakat adat.

Hutan hujan Papua, yang luasnya lebih dari 2 juta hektar, menghadapi tekanan yang semakin meningkat akibat ekspansi pertanian berskala besar, terutama dari industri kelapa sawit dan kayu. Perwakilan masyarakat sipil memperingatkan bahwa perlindungan hukum yang lemah dan deforestasi yang sedang berlangsung melanggar hak-hak masyarakat adat, khususnya masyarakat Malind dan Yei.

“Kami mendesak Komisi Eropa untuk memastikan bahwa Pasal 29(4)(d) diterapkan secara konsisten dan ketat di semua negara dan wilayah, termasuk Papua Barat. Tanpa pendekatan yang ketat terhadap perlindungan hutan dan masyarakat adat, skema EUDR berisiko gagal mencapai tujuannya dalam mencegah deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai pasok global,” ujar Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi.

Kedua organisasi tersebut mendesak Uni Eropa untuk mengambil sikap tegas dalam proses pembandingan EUDR, yang akan mengklasifikasikan wilayah berdasarkan risiko deforestasi pada tanggal 30 Juni 2025. Mereka juga menyerukan pengawasan yang lebih besar dari badan-badan hak asasi manusia internasional untuk menilai pelanggaran-pelanggaran yang terkait dengan pembukaan lahan dan perluasan perkebunan di Papua.

Dalam surat tersebut, kelompok-kelompok masyarakat sipil tersebut secara khusus menyerukan kepada Uni Eropa untuk memprioritaskan risiko deforestasi di Papua yang terkait dengan perkebunan pangan dan energi; meminta Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan badan-badan lain yang relevan untuk menyelidiki apakah situasi di Papua Barat merupakan pelanggaran atas kewajiban-kewajiban hak asasi manusia internasional Indonesia; serta mendukung Indonesia untuk menemukan cara-cara yang berkelanjutan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi.

“Uni Eropa sepatutnya bisa mempertimbangkan kondisi perusakan kehidupan, perampasan hak atas ekonomi, pecah belah sosial di beberapa Distrik di Papua Selatan termasuk intimidasi tentara dan polisi. Konsumsi bersih Eropa jangan hanya bersih dari perusakan hutan, tetapi juga bersih dari perusakan martabat manusia,” kata Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Sebagai benteng hutan alam terakhir yang tersisa di Indonesia, Papua berada pada titik kritis. Para aktivis memperingatkan bahwa tanpa tindakan tegas, deforestasi skala besar dapat meningkat di bawah ambisi pengembangan lahan Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang semakin membahayakan lingkungan dan mata pencaharian masyarakat adat.

“Papua adalah wilayah yang unik dan menjadi penting untuk terlindungi. Hasil modelling yang kita lakukan menunjukan bahwa ambang batas atas pulau Papua untuk pengembangan sawit adalah 290.837 Ha. Saat ini, pembangunan perkebunan sawit telah mencapai 290.659 Ha. Ini berarti telah mencapai ambang batas. Komisi EU perlu melihat situasi ini dalam mempertimbangkan benchmarking”, ujar Giorgio Budi Indrarto, Deputi Direktur Yayasan MADANI Berkelanjutan. (nsh)

Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles