Jakarta – Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) meluncurkan sebuah laporan baru berjudul ‘Forensic Insights for Future Resilience: Learning from Past Disasters’ (Wawasan Forensik untuk Ketahanan Masa Depan: Belajar dari Bencana Masa Lalu). Laporan ini menyerukan pendekatan forensik untuk menganalisis bencana.
Laporan yang dirilis tanggal 17 September, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Summit of the Future yang diselenggarakan oleh PBB ini merupakan edisi khusus dari Laporan Penilaian Global (Global Assessment Report/GAR) PBB dan menekankan perlunya belajar dari bencana-bencana yang terjadi di masa lalu sebagai dasar untuk melakukan tindakan pencegahan dan membangun ketahanan dalam menghadapi risiko-risiko yang berkaitan dengan iklim yang terus meningkat.
Ketika negara-negara menghadapi bencana yang semakin parah dan sering terjadi, yang sering kali diperburuk oleh krisis iklim, laporan GAR 2024 menyatakan bahwa investigasi forensik terhadap “DNA bencana” sangat penting untuk memahami akar penyebab bencana dan menciptakan kebijakan yang dapat mengurangi dampaknya.
“Setiap bencana terlalu berharga untuk disia-siakan. Kita harus menggunakan setiap bencana untuk mengambil pelajaran,” kata Kamal Kishore, Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana dan Kepala UNDRR. “Ini berarti melakukan analisis teknis yang mendalam untuk memahami faktor-faktor yang mendasari terjadinya bencana.”
Laporan ini menyajikan sepuluh studi kasus dari bencana global yang terjadi baru-baru ini, yang masing-masing berfokus pada faktor-faktor yang memperparah atau mengurangi dampak bencana. Studi-studi ini memberikan rekomendasi untuk membangun ketahanan di tiga bidang utama: Manusia, Planet, dan Kemakmuran. Sebagai contoh, dampak dahsyat Topan Freddy di Malawi pada tahun 2023 tidak hanya disebabkan oleh topan yang memecahkan rekor sebagai topan yang paling kuat, tetapi juga karena lemahnya infrastruktur dan jaringan transportasi di negara tersebut. Kelemahan ini menghambat evakuasi dan pengiriman bantuan darurat, yang mengakibatkan sekitar 1.200 orang meninggal dunia.
Sebaliknya, respons Mexico City terhadap gempa bumi tahun 2017 dipuji dalam laporan tersebut sebagai kisah sukses. Setelah belajar dari gempa bumi mematikan tahun 1985, yang merenggut puluhan ribu nyawa, kota ini merevisi peraturan dan undang-undang bangunannya. Hasilnya, ketika gempa bumi tahun 2017 melanda, meskipun jumlah penduduknya jauh lebih besar, jumlah korban tewas berkurang secara signifikan menjadi sekitar 326 orang.
Irasema Alcántara-Ayala, salah satu penulis laporan dan profesor di National Autonomous University of Mexico, menyoroti pentingnya menyelidiki akar penyebab bencana. “Bencana merupakan puncak dari kerentanan yang terabaikan. Dengan berfokus pada akar penyebabnya, investigasi forensik terhadap bencana menawarkan kepada para pembuat kebijakan sebuah cetak biru untuk membangun ketahanan ke dalam struktur pembangunan berkelanjutan.”
Laporan PBB menekankan bahwa memahami bagaimana bencana di masa lalu terjadi dapat membantu mengungkap kerentanan dalam sistem ekonomi, ekosistem, dan institusi, sehingga memberikan wawasan yang berharga bagi para pembuat kebijakan. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk memprioritaskan investasi dalam ketahanan, memastikan bahwa upaya pembangunan dapat mengurangi risiko bencana di masa depan.
Roger Pulwarty, Ilmuwan Senior dari Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (US National Oceanic and Atmospheric Administration) dan salah satu penulis laporan ini, menyatakan bahwa pengurangan risiko bencana tidak boleh diperlakukan sebagai hal yang terpisah dari adaptasi iklim. Sebaliknya, mengatasi risiko sistemik sangat penting untuk mencapai tujuan iklim dan memastikan pembangunan berkelanjutan.
Peluncuran laporan ini dilakukan menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB Summit of the Future, yang bertujuan untuk membangun konsensus global tentang cara melindungi masa depan. Temuan-temuan GAR 2024 menggarisbawahi pentingnya manajemen risiko bencana yang proaktif, terutama bagi masyarakat termiskin di dunia dan Negara-negara Kurang Berkembang (Least Developed Countries), yang secara tidak proporsional terkena dampak bencana. (nsh)
Foto banner: Sampul depan Laporan UNDRR GAR 2024