Jakarta – Di tengah ekspansi pengaruh BRICS dan janji-janji transisi energi global, Indonesia justru berisiko terjerumus lebih dalam ke ketergantungan pada energi fosil, menurut laporan terbaru Global Energy Monitor (GEM) untuk April 2025. Meski telah bergabung sebagai anggota baru BRICS, arah pembangunan energi nasional masih menunjukkan preferensi kuat terhadap batu bara dan gas — dengan dukungan besar dari perusahaan milik negara China.
Hal ini diungkap dalam laporan terbaru Global Energy Monitor yang merinci bahwa negara-negara BRICS pendiri seperti Brasil, India, dan China telah menjadi pemimpin global dalam pembangunan energi bersih, sementara sebagian besar anggota baru BRICS — termasuk Indonesia — justru tengah mempercepat pembangunan proyek berbasis bahan bakar fosil.
“Saat ini, ada 25 gigawatt (GW) kapasitas listrik berbasis batu bara, minyak, dan gas yang sedang dibangun di negara-negara BRICS baru. Bandingkan dengan hanya 2,3 GW kapasitas angin dan surya yang sedang dikembangkan,” ungkap James Norman, Manajer Proyek Global Integrated Power Tracker, dan penulis laporan GEM April 2025.
Mayoritas proyek energi di negara-negara anggota baru BRICS, termasuk Indonesia, digerakkan oleh China. Menurut laporan yang sama, 62% dari kapasitas listrik yang sedang dibangun di wilayah ini melibatkan perusahaan milik negara China, baik sebagai kontraktor teknik dan pengadaan (EPC) maupun sebagai pemodal utama.
“China sangat dominan dalam sektor energi. Mereka mendanai dan membangun hampir semua proyek pembangkit listrik tenaga batu bara dan air di kawasan BRICS baru — masing-masing 93% dan 88% dari total kapasitas yang sedang dibangun,” ujar Norman dalam laporannya.
Di Indonesia, dukungan China terhadap proyek-proyek batu bara bahkan mencapai 7,7 GW, meskipun Presiden China Xi Jinping pernah menyatakan bahwa negaranya akan menghentikan pendanaan batu bara di luar negeri.
Namun, ironi muncul ketika data menunjukkan bahwa China juga menjadi pendukung terbesar untuk proyek tenaga angin dan surya di kawasan yang sama, dengan membangun lebih dari separuh dari 947 MW kapasitas tenaga surya dan hampir 90% dari 601 MW kapasitas angin.
Ambisi bersih tapi investasi fosil
Blok BRICS kini mencakup lebih dari sepertiga Produk Domestik Bruto (PDB) global dan sekitar separuh populasi dunia — sekaligus menjadi kontributor utama terhadap emisi karbon global.
Brasil sebagai ketua BRICS 2025 telah mengukuhkan Indonesia sebagai anggota penuh, bersama sembilan negara lain yang menjadi mitra: Belarus, Bolivia, Kazakhstan, Kuba, Malaysia, Thailand, Uganda, Uzbekistan, dan Nigeria.
Namun, sementara anggota lama BRICS mencatatkan pencapaian besar dalam pengembangan energi hijau, sebagian besar anggota baru masih bertumpu pada energi kotor. Ini menciptakan jurang antara narasi net-zero dan realitas investasi.
Laporan GEM juga menyatakan bahwa “lima anggota baru yang masih mengandalkan batu bara sudah mengumumkan target penghentian penggunaan batu bara di masa depan. Tapi ada ketidaksesuaian besar antara target itu dan proyek yang sedang dibangun sekarang”.
Indonesia sendiri telah merancang berbagai kebijakan transisi energi, termasuk pengembangan energi terbarukan dan komitmen pengurangan emisi. Namun, data dari Global Energy Monitor menempatkan Indonesia dalam posisi kontradiktif: aktif membangun pembangkit batu bara baru, sembari mendeklarasikan ambisi energi bersih.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia bisa menjadi contoh klasik jebakan energi fosil — negara berkembang yang terdorong untuk memenuhi kebutuhan energinya melalui solusi jangka pendek berbasis fosil, dengan risiko terjebak dalam infrastruktur usang dan beban emisi jangka panjang.
Laporan GEM menyimpulkan bahwa anggota BRICS yang tangguh bisa menunjukkan kepemimpinan dan membagikan pengalaman mereka dalam transisi energi. Tapi jika arah pembangunannya tetap pada batu bara dan gas, ada risiko besar negara-negara ini tersesat dalam jalur energi kotor. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2025)