Krisis iklim ancam ketersediaan air, BMKG dorong restorasi sungai

Jakarta – Peningkatan suhu udara dan ketimpangan pola hujan yang ekstrem kian memperburuk kondisi sumber daya air di Indonesia. Menanggapi situasi ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengambil langkah nyata melalui pengelolaan air yang cerdas dan restorasi sungai secara berkelanjutan.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, Kamis, 8 Mei, dalam paparannya secara daring pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (SV UGM) dan Gerakan Restorasi Sungai Indonesia (GRSI), menekankan bahwa perubahan iklim tidak lagi bersifat abstrak. Dampaknya kini telah nyata, langsung memengaruhi ketersediaan air permukaan dan air tanah.

“Data kami menunjukkan bahwa suhu rata-rata nasional sepanjang 2024 mencapai 27,52°C dengan anomali positif sebesar 0,81°C dibandingkan rerata klimatologis 1991–2020,” ujar Dwikorita.

Ia menambahkan bahwa lonjakan suhu ini terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia dan berdampak signifikan terhadap siklus hidrologi nasional. Salah satu konsekuensi paling krusial adalah meningkatnya frekuensi kekeringan saat kemarau, sementara curah hujan cenderung melonjak di musim hujan, meningkatkan risiko banjir.

Musim ekstrem, air makin langka

BMKG memperkirakan bahwa dalam tiga dekade mendatang, musim kemarau akan menjadi lebih panjang dan lebih kering. Sebaliknya, musim hujan justru akan mengalami intensifikasi curah hujan dalam waktu yang lebih singkat. Kondisi ini menciptakan paradoks: air melimpah tapi tak tersedia saat dibutuhkan.

Dwikorita menjelaskan bahwa sistem pengelolaan air yang baik memerlukan integrasi antara informasi iklim, data hidrologi, dan karakteristik geologi wilayah. Dalam hal ini, BMKG telah menggabungkan data hidrometeorologi dengan data dari Kementerian PUPR dan Badan Geologi untuk menganalisis prediksi secara komprehensif.

BMKG menyatakan telah menyediakan berbagai layanan informasi prediktif, mulai dari prakiraan curah hujan bulanan dan musiman hingga peringatan dini iklim ekstrem. Layanan ini dapat diakses publik dan dirancang untuk mendukung keputusan di tingkat tapak, terutama dalam hal konservasi air dan perencanaan panen air hujan.

Mengakhiri paparannya, Dwikorita mengajak seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk menjaga ekosistem air secara kolektif. “Mari kita jaga air, lestarikan hutan, sungai, dan pantai. Jika kita menjaga alam, maka alam akan menjaga kita,” tutupnya. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles