Ketahanan iklim perlu data kuat dan martabat bagi penyandang disabilitas

Saat makin meningkatnya ancaman bencana akibat perubahan iklim, ada satu kelompok rentan yang masih sering terabaikan dalam kebijakan iklim dan perencanaan bencana. Meski kesadaran akan keadilan iklim semakin meningkat, hari ini kebijakan dan pada praktiknya belum mencerminkan pemahaman bagaimana krisis iklim secara tidak proporsional berdampak pada penyandang disabilitas, terutama di lingkungan perkotaan.

Sebuah buku baru yang ditulis oleh Farhan Helmy, Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lansia (DILANS-Indonesia) – sebuah gerakan yang mengadvokasi para penyandang disabilitas dan lansia – menyoroti bagaimana inklusivitas adalah keadilan dan sangat penting dalam upaya ketahanan iklim yang efektif.

Penyandang disabilitas lebih rentan terhadap akibat iklim seperti banjir, gelombang panas, dan cuaca ekstrem. Tantangan mobilitas fisik, ketergantungan pada alat bantu, dan infrastruktur publik yang sering kali sulit diakses meningkatkan risiko saat terjadi bencana. Namun, kebutuhan spesifik penyandang disabilitas jarang sekali masuh dalam rencana kesiapsiagaan iklim atau rencana tanggap darurat.

“Misalnya kalau saya berada di tengah banjir, tidak ada yang bisa saya lakukan tanpa bantuan,” kata Farhan, yang menggunakan kursi roda. “Sistem yang ada sekarang tidak dirancang untuk kami.”

Penelitian dari Inclusive District Platform (IDP) di Sumur Bandung, Jawa Barat, menunjukkan adanya kesenjangan yang memprihatinkan: meskipun 56% responden penyandang disabilitas mengetahui adanya perubahan iklim, namun partisipasi mereka dalam upaya mitigasi dan adaptasi masih sangat minim. Alasannya? Eksklusi sistemik-baik secara informasi maupun infrastruktur.

Farhan Helmy, Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lansia (DILANS-Indonesia) berbicara di hadapan para mahasiswa Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) pada hari Rabu, 30 April. (nsh)

Mengapa inklusivitas penting dalam membangun ketahanan

Farhan berpendapat bahwa inklusivitas harus menjadi prinsip dasar tata kelola iklim, bukan sekadar wacana. Pada intinya adalah ide tentang martabat, yang mengakui nilai dan hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam masyarakat.

Prinsip ini tercermin dalam seruan bersama, “Nothing About Us Without Us”, seruan yang pada intinya menyerukan penyertaan para penyandang disabilitas dalam pembuatan kebijakan yang berdampak atau mengenai mereka. Kebijakan dan program yang dirancang bersama kelompok-kelompok marjinal, bukan hanya dibuat sepihak untuk mereka, akan lebih efektif, adil, dan berkelanjutan.

“Bayangkan secara global terdapat 1,5 miliar penyandang disabilitas, dan sekitar 23 juta di Indonesia,” ujar Farhan. Ia menambahkan bahwa pada saat yang sama masih sangat kurangnya data yang rinci dan terpilah untuk perencanaan yang efektif.

Mengabaikan demografi ini dalam kebijakan iklim bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak strategis. Ketahanan yang efektif membutuhkan partisipasi yang inklusif, data yang akurat, dan infrastruktur yang dapat diakses. “Misalnya, tidak ada data tentang penyandang disabilitas mental,” kata Farhan.

Selain kebijakan dan data, penyandang disabilitas juga menghadapi hambatan digital dan fisik yang signifikan. Banyak platform digital dengan informasi iklim atau bencana tidak memenuhi standar aksesibilitas, seperti Pedoman Aksesibilitas Konten Web (WCAG). Hal ini mengakibatkan kesenjangan digital yang menghalangi akses ke informasi yang penting bagi keselamatan.

Demikian pula, infrastruktur perkotaan sering kali tidak memiliki jalur landai (ramp), jalur taktil, atau bahasa isyarat pada konten audiovisual, sehingga hampir tidak mungkin bagi penyandang disabilitas dan lansia untuk menyelamatkan diri secara aman saat terjadi keadaan darurat atau bahkan mengakses layanan penting dalam kehidupan sehari-hari.

Di hadapan mahasiswa Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) pada hari Rabu, 30 April, Farhan berbagi cerita tentang seorang lansia dengan penglihatan mulai memburuk akhirnya dapat mengunjungi masjid setelah masyarakat secara mandiri membangun jalur taktil untuk tunanetra. “Sesuatu yang mendasar seperti guiding block untuk tunanetra tidak mahal bagi pemerintah daerah,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa biaya publik seperti itu masih sangat sulit untuk disetujui.

Data yang inklusif mendorong kebijakan iklim yang lebih baik

Salah satu masalah yang paling mendasar adalah data yang buruk. Sumber-sumber resmi seperti Badan Pusat Statistik (BPS), basis data kesejahteraan sosial, dan pendataan kemiskinan nasional sering kali tidak memiliki data yang akurat dan inklusif mengenai penyandang disabilitas. Banyak yang tidak memperhitungkan berbagai macam disabilitas atau tidak dipilah berdasarkan usia, jenis kelamin, atau lokasi.

Tidak adanya data berarti juga tidak diperhitungkan dalam kebijakan. Proses perencanaan pemerintah sering kali tidak menyertakan penyandang disabilitas hanya karena mereka tidak “dihitung” dengan benar sejak awal.

Inclusive District Platform (IDP) yang diujicobakan di Bandung, Semarang dan Yogyakarta menunjukkan bagaimana data yang inklusif dan berbasis lokal dapat mengubah perencanaan iklim. Dengan menggunakan standar yang diakui secara internasional seperti Washington Group on Disability Statistics, IDP mengumpulkan data rinci tentang disabilitas dan memadukannya dengan informasi geospasial.

“DILANS mengembangkan data tersebut, dan kami memetakan setiap titik area yang tidak dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Data ini kami tawarkan kepada pemerintah,” kata Farhan.

Sistem ini tidak hanya menginformasikan kebijakan, tetapi juga memberdayakan pemerintah daerah dan masyarakat untuk bersama-sama menciptakan solusi, baik meningkatkan infrastruktur publik, menyesuaikan tanggap bencana, atau mengadvokasi transportasi yang mudah diakses.

Yang membuat IDP sangat kuat adalah kemampuannya untuk beradaptasi. Platform ini dirancang dengan perangkat sumber terbuka (open source) dan masukan dari masyarakat. IDP menyediakan cetak biru bagi kota-kota lain, terutama di belahan dunia Selatan, untuk ditiru dan dipelajari. Proyek ini lebih dari sekadar data, tetapi juga mencakup program-program mandiri seperti Yoga4Dilans, kegiatan yoga yang inklusif; terapi seni, kelas bahasa isyarat, dan pariwisata komunitas, yang menunjukkan bahwa membangun ketangguhan juga berarti memperkuat kesehatan mental, identitas budaya, dan hubungan sosial.

Terakhir, Farhan menegaskan bahwa inklusi bukanlah amal, melainkan keadilan bagi jutaan orang. Data, martabat, dan partisipasi bukanlah pilihan – tapi hal mendasar bagi masyarakat yang berketahanan iklim. (nsh)

Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2025)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles