Jakarta – Pemerintah mengambil kebijakan menjadikan gas bumi sebagai energi transisi dari fosil menuju energi baru terbarukan (EBT). Hanya saja sebagian besar gas bumi justru diekspor sehingga hal ini bakal menjadi tantangan berat bagi pemerintah.
“Indonesia memiliki potensi gas bumi yang sangat besar sehingga diyakini dapat mendukung proses transisi energi dengan tetap memenuhi kebutuhan energi nasional. Tapi ada banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi terlebih dahulu, agar potensi gas bumi yang ada dapat diproduksi dan dimanfaatkan secara maksimal,” beber Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA), Marjolijn Wajong dalam diskusi secara daring, Rabu (24/8).
Menurut Marjolijn, para pengambil kebijakan sebaiknya tetap berusaha memastikan agar kebijakan yang dibuat dapat meningkatkan keyakinan investor untuk terus berinvestasi dalam proyek-proyek gas yang ada, terutama dalam hal keekonomian. Selain itu, keberlanjutan proyek gas bumi juga perlu diperhatikan agar ketersediaan gas bumi yang menjadi sumber energi tidak terputus.
Selain Marjolijn, hadir juga sebagai pembicara pada acara tersebut Wakil Ketua Forum Pengguna Gas Bumi Indonesia (FPGBI), Achmad Widjaja. Dia mengatakan bahwa gas bumi adalah bahan baku yang sangat penting untuk menggerakan industri. Namun, saat ini porsi gas bumi sebagian besar masih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ekspor daripada industri dalam negeri. Alhasil, kebutuhan domestik gas bumi untuk industri nasional pun belum optimal terpenuhi.
Terkait harga, Achmad menilai kebijakan harga gas bumi tertentu yang sudah dibuat oleh pemerintah hingga saat ini belum memberikan dampak yang signifikan.
“Kebijakan ini dirasa belum terlihat memberikan dampak pada tujuh jenis industri yang dimaksud. Belum ada inovasi, peningkatan daya saing, dan penciptaan multiplier effect seperti yang diharapkan, sesuai Kepmen 134/2021,”ujarnya.
Ditambahkan Achmad, peran gas bumi semestinya tidak tergantikan karena selain sebagai bahan baku atau komoditas, gas bumi juga merupakan sumber energi yang paling efisien.
“Itu sebabnya, pemerintah perlu memberikan perhatian khusus, tidak hanya kepada industri hilir, melainkan juga kepada industri hulu yang menjadi produsen gas bumi,” imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, yang hadir pada kesempatan tersebut juga mengatakan, pemanfaatan gas bumi sebagai jembatan menuju transisi energi nasional bersifat sangat strategis. Hal ini merujuk pada beberapa tahun terakhir dimana penemuan cadangan migas nasional didominasi oleh gas bumi.
Selain soal potensi tersebut, menurut dia, kebijakan yang diambil pemerintah untuk industri hulu harus dilihat secara lebih luas.
“Perlu diingat bahwa sektor hulu migas memiliki multiplier effect yang besar, sehingga nilai tambah yang ditimbulkan pun cukup besar dan signifikan bagi perekonomian nasional,” ungkapnya. (Hartatik)
Foto banner: PT Pertamina Hulu Energi (PHE), melalui PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONW) menemukan cadangan migas di sumur eksplorasi GQX-1. (Sumber: Pertamina)