
oleh: Hartatik
Semarang – Seiring berkembangnya teknologi, pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) semakin dilirik, untuk mengatasi persoalan yang muncul dari penggunaan pompa diesel. Bahkan, dua tahun terakhir, petani padi di Jawa Tengah mulai masif memanfaatkan energi surya untuk mengairi sawah nonirigasi agar tidak puso (gagal panen) saat musim kemarau.
Di Desa Krincing, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, petani terheran-heran menyaksikan pompa tanpa diesel mampu mengangkat air dari Sungai Elo Bogowonto. Padahal posisi sungai 40-50 meter di bawah lahan mereka, berjarak sekitar 400 meter.
“Sampai warga bilang saya edan, mau angkat air dari Elo tanpa diesel. Wah, wah, pak lurah edan. Tapi saya yakin itu bisa,” kata Heri Purwanto, Kepala Desa Krincing, yang menginisiasi energi surya pada 2019.
Mantan sopir truk pasir itu bercerita, membangun irigasi surya di desanya ibarat berjudi—taruhannya nama baik. Dengan dana desa Rp 600 juta, ia nekat mengalokasikan Rp 350 juta untuk membuat proyek yang belum jelas juntrungannya itu.
“Dari 80 hektare, 15 hektare kesulitan air saat musim kemarau. Sebenarnya ada irigasi provinsi, tapi airnya tidak sampai ke desa kami, karena pintunya jauh di Soropadan Temanggung. Jaraknya lima kilometer dari Krincing,” kata Heri.
Pompa diesel
Menurut Heri, kades sebelumnya juga pernah menarik air Elo menggunakan pompa diesel, namun hanya bertahan satu bulan karena berat di ongkos. Dari pengalaman itu, ia mulai tertarik membaca artikel-artikel energi terbarukan di internet.
Saat ada pameran pertanian di Kabupaten Temanggung, Heri bergegas ke sana. Ia menemui salah satu stan yang memamerkan panel surya berkapasitas 100 watt peak. Kalau lampu saja bisa, pompa air pun pasti bisa—begitu pikirnya. Memang bisa, tapi hanya pompa kecil.
“Lalu saya tanya, kalau panelnya digabung terus dikasih pompa besar bisa tidak? Saya bertaruh, nekat. Saya juga bilang ke distributornya, kalau airnya naik kami bayar, kalau tidak naik tidak bayar. Karena kami pakai dana desa,” kata Heri.
Setelah melewati rapat desa, akhirnya Heri memutuskan membangun irigasi surya. Sebanyak 64 panel surya masing-masing berkapasitas 100 watt peak off-grid dibeli dari distributor di Surabaya. Panel tersebut diimpor dari Jerman, masing-masing seharga Rp 2 juta. Ia juga membeli pompa air besar seharga Rp 90 juta.
“Kami rapat dulu di kantor desa. Kami ingin bangun ini untuk kepentingan petani. Kalau penolakan tidak ada, tapi banyak yang menyangsikan apa bisa. Kalau bisa, silakan pak lurah,” kata Heri menceritakan situasi rapat desa.

Pemeliharaan mudah
Panel surya berukuran 6 meter x 8 meter dipasang di atas lahan bengkok desa dengan jarak 200 meter dari reservoir. Pemasangan panel surya hanya dua hari. Namun pembuatan reservoir dua bulan.
Menurut Heri, total listrik panel surya sebesar 6.400 watt peak. Dari hitung-hitungan, daya ini cukup untuk mengairi 70-80 hektare. Secara bertahap, panel surya sudah mengairi 15 hektare di satu dusun. Masih ada tujuh dusun di Krincing yang belum terjangkau.
“Daya panel sangat cukup. Tinggal tambah pompa saja dan tampungan yang lebih besar. Kami sudah siapkan tanah bengkok 5.000 m2 untuk lokasi embung. Target kami 8 dusun di Krincing bisa terjangkau,” kata Heri.
Pemeliharaan panel surya di Krincing, kata Heri, tergolong mudah. Hanya menjaganya tetap bersih. Yang membutuhkan perawatan rutin justru bak penampung dan pompa air, terutama saat musim hujan. Air sungai yang berlumpur seringkali membuat pompa macet.
“Kalau pipa sebenarnya awet, asal tidak kena benda keras. Kami pernah memperbaiki satu kali, tapi itu pecah karena terlindas traktor,” kata Heri.
Fera , petani di Desa Krincing, mengatakan bisa dua kali tanam padi setelah ada irigasi surya. Sebelumnya satu kali setahun. Produksi padi pun bertambah menjadi hampir 5 ton. Sebelumnya hanya 1,7 ton untuk lahan seluas 1.250 m2.
“Yang sudah-sudah, kalau musim kemarau ya dibiarkan saja bero (kering). Air dari irigasi tidak pernah sampai,” kata Fera.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai potensi energi surya di Jawa Tengah sangat besar, bahkan diperkirakan mencapai 193-670 gigawatt peak. Namun selama ini, kata dia, tidak banyak dimanfaatkan.
“Jawa Tengah bisa menjadi solar power house. Pembangkit tenaga surya paling relevan, karena teknologinya didesain modular, sehingga bisa dipasang di segala permukaan, termasuk dikombinasi di lahan pertanian,” kata Fabby.
Ia menambahkan kepemimpinan, inovasi daerah, dan kolaborasi menjadi kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi hijau dan transisi energi.
“Masyarakat bisa terlibat dalam mendorong transisi energi mereka dengan upaya sendiri dan dukungan dari pemerintah. Ini yang disebut dengan transisi energi gotong royong. Transisi energi membutuhkan upaya dan investasi yang besar, maka kontribusi dari masyarakat juga harus diwadahi. Praktik yang selama ini dilakukan di Jawa Tengah dapat menjadi referensi di banyak daerah dalam pengembangan energi terbarukan dan mendorong pembangunan rendah karbon,” kata Fabby.
Asisten II Ekonomi dan Pembangunan Sekda Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko membenarkan kondisi yang terjadi di sawah nonirigasi, yakni ketergantungan pada bahan bakar fosil, mahalnya biaya operasional petani, serta dampak emisi.
“DPRD Jateng sudah mengajukan program pembuatan panel surya di sawah nonirigasi. Mereka meminta penggunaan pompa diesel diganti pompa tenaga surya, terutama di sawah seluas 40-50 hektare,” kata dia.
Pemprov juga membuat program Desa Mandiri Energi, menarget 60% kebutuhan energi di desa terpenuhi dari potensi lokal.
“Potensi lokal di desa bisa menjadi sumber energi terbarukan, seperti air, bioenergi dari sampah atau peternakan. Dan paling murah energi surya,” kata Sujarwanto.
Dalam program itu, Pemprov menggandeng Institute for Essential Services Reform (IESR) untuk meriset agar penerapan energi surya lebih maksimal. “Bersama IESR, kami mendeklarasikan Provinsi Energi Surya, dengan konsep desa mandiri energi,” tukasnya.
Foto banner: PLTS Desa Krincing. Perangkat Desa Krincing memperlihatkan panel surya yang menjadi sumber listrik pompa irigasi tenaga surya berdiri di lahan bengkok desa. (Hartatik)