Jakarta – Sebagai bagian dari upaya mencapai net-zero emissions (NZE) pada tahun 2060, Indonesia menargetkan implementasi teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) secara masif. Melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia merancang pengoperasian 15 proyek CCS yang sebagian besar diharapkan mulai berjalan pada tahun 2030.
Teknologi ini dianggap penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendukung transisi menuju energi rendah karbon. Dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Towards Net-Zero Emissions: Indonesian Project Development of CCS and CCUS” yang diselenggarakan oleh Kementerian ESDM, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian ESDM, Prahoro Nurtjahyo, menggarisbawahi pentingnya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan sumber daya energi dan lingkungan di Indonesia.
“Isu perubahan iklim adalah tantangan global yang harus dihadapi dengan aksi nyata dari semua pihak. Indonesia, sebagai salah satu negara yang berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, perlu mengoptimalkan teknologi CCS dan CCUS dalam mencapai target tersebut,” ujar Prahoro, dalam keterangan tertulis, Selasa, 3 September.
Indonesia memiliki potensi penyimpanan karbon melalui teknologi CCS yang termasuk terbesar di dunia. Menurut data yang disampaikan Prahoro, Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan CCS sebesar 577,62 Giga Ton, yang terdiri atas Depleted Oil & Gas sebanyak 4,85 Giga Ton dan Saline Aquifer sebesar 572,77 Giga Ton.
“Dengan potensi sebesar ini, Indonesia berada di posisi strategis dalam upaya global untuk menurunkan emisi karbon,” lanjutnya.
Prahoro juga menjelaskan bahwa teknologi CCS dan Carbon Capture Utilisation and Storage (CCUS) merupakan solusi efektif untuk menurunkan emisi karbon dioksida (CO2) dari berbagai proses industri dan pembangkit listrik. CCS berfokus pada penangkapan dan penyimpanan CO2 di bawah permukaan tanah, sedangkan CCUS melibatkan pemanfaatan CO2 yang tertangkap untuk keperluan lain sebelum disimpan. “Teknologi ini memungkinkan penggunaan bahan bakar fosil dengan emisi yang lebih rendah, sehingga mendukung transisi ke ekonomi rendah karbon tanpa harus mengorbankan keamanan energi,” tambahnya.
Namun, implementasi teknologi CCS dan CCUS di Indonesia tidaklah tanpa tantangan. Prahoro menekankan bahwa pengembangan proyek-proyek ini memerlukan investasi yang signifikan serta regulasi yang mendukung. Selain itu, adopsi teknologi canggih ini juga membutuhkan penyesuaian dari sisi sumber daya manusia dan peralatan yang ada saat ini.
“Dukungan regulasi dan kesiapan SDM menjadi kunci keberhasilan penerapan teknologi CCS dan CCUS di Indonesia,” jelasnya.
FGD ini merupakan bagian dari rangkaian acara menuju Human Capital Summit ke-2 pada tahun 2025, yang akan fokus pada transformasi Green Collar Workforce dan identifikasi kebutuhan SDM untuk mendukung transisi energi di Indonesia. Dalam acara puncak tersebut, diharapkan akan ada penandatanganan komitmen kolaborasi untuk mempercepat transformasi tenaga kerja di sektor energi yang ramah lingkungan.
Dengan potensi besar dalam penyimpanan karbon, serta komitmen kuat dari pemerintah dan sektor industri, Indonesia berpotensi menjadi pemimpin dalam implementasi teknologi CCS dan CCUS, mendukung pencapaian target global untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan menjaga keseimbangan ekosistem. (Hartatik)