Jakarta – Adopsi energi surya terus meningkat secara global, mencapai 1,6 TW pada 2023. Di Asia Tenggara, kapasitas energi surya tercatat sebesar 25,9 GW. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyarankan bahwa Indonesia harus memperkuat rantai pasok industri Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk meningkatkan daya saingnya di kancah internasional, serta mendukung adopsi PLTS dan menciptakan lapangan kerja yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi.
Untuk mempercepat pengembangan PLTS dan industri komponennya di dalam negeri, IESR bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) serta RE100 Climate Group akan menyelenggarakan Indonesia Solar Summit (ISS) 2024.
Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, Marlistya Citraningrum, menjelaskan bahwa energi surya seharusnya menjadi strategi utama dalam mencapai target bauran energi terbarukan dan mempercepat transisi energi.
“Indonesia Solar Summit 2024 akan membahas strategi penting untuk memperkuat industri PLTS domestik dan memperoleh komitmen dari pemerintah serta entitas bisnis untuk mendorong adopsi PLTS di Indonesia,” kata Marlistya dalam acara Media Luncheon Indonesia Solar Summit 2024 pada Selasa, 13 Agustus.
Sementara itu, Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, Alvin Putra Sisdwinugraha, menambahkan bahwa Indonesia memiliki potensi energi surya lebih dari 3.295 GW. Perkembangan teknologi modul surya yang didominasi oleh teknologi berbasis silikon, khususnya monokristalin, telah menunjukkan efisiensi yang lebih tinggi.
“Selama lima tahun terakhir, harga modul surya turun hingga 66%, menjadi sekitar 14,5 USDc/Wp (sekitar Rp 2.300/Wp). Ini adalah peluang bagi Indonesia untuk memperkuat rantai pasok industri PLTS agar dapat bersaing dengan produk impor,” ujar Alvin.
Meskipun kapasitas produksi modul surya Indonesia meningkat menjadi 2,3 GW per tahun pada Juni 2024, Alvin menyoroti bahwa modul surya lokal masih tertinggal dari segi ukuran, efisiensi, harga, dan kategori tier-1 dibandingkan dengan produk impor. Tanpa sertifikasi tier-1, modul surya dalam negeri sulit mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan internasional, sementara harga PLTS lokal juga 30-45% lebih tinggi dibandingkan dengan produk impor.
IESR mendorong pemerintah untuk meningkatkan daya saing PLTS lokal dengan memberikan insentif fiskal dan non-fiskal untuk menurunkan biaya produksi, terutama jika berorientasi pada ekspor. Selain itu, kerjasama dengan produsen global untuk transfer teknologi, serta kepastian regulasi dan pasar domestik, sangat diperlukan. Alvin juga menekankan pentingnya pengadaan tender berkala untuk mengatasi rendahnya permintaan dalam negeri.
Arya Rezavidi, Perekayasa Ahli Utama di Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menegaskan bahwa rantai pasok PLTS yang kuat akan meningkatkan nilai tambah mineral penting untuk pembuatan modul surya.
“Pengembangan PLTS tidak hanya untuk mencapai target bauran energi terbarukan, tetapi juga menunjukkan bahwa Indonesia menguasai teknologi PLTS yang kompetitif,” kata Arya.
Dari sisi industri, Wilson Kurniawan, Chief Financial Officer (CFO) PT Trina Mas Agra Indonesia, menyatakan bahwa industri sel dan modul surya membutuhkan dukungan berupa kepastian dan percepatan realisasi permintaan panel surya, prioritas penggunaan panel surya produksi dalam negeri, regulasi untuk mendukung pertumbuhan industri pendukung, serta kebijakan yang mendorong investasi hulu dan perlindungan terhadap pabrikan dalam negeri melalui pengenaan bea impor.
Indonesia Solar Summit (ISS) 2024 yang akan diselenggarakan pada Rabu, 21 Agustus 2024, mengusung tema “Membangun Rantai Pasok PLTS Indonesia untuk Mempercepat Transisi Energi dan Mendukung Industri Hijau,” sebagai bagian dari pra-acara Indonesia Sustainability Forum 2024. (Hartatik)