IESR: Pemanfaatan CCT pada PLTU Tidak Tepat

oleh: Hartatik

Jakarta – Sebagai komitmennya untuk mengatasi krisis iklim dunia, Indonesia berkomitmen untuk mencapai target nationally determined contributions (NDC) untuk mengurangi emisi 29% pada 2025, dan mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Namun saat ini Indonesia memilih untuk tidak tidak phase out energi fosil melainkan mengimplementasikan teknologi bersih dan mempertimbangkan penerapan teknologi berupa penangkapan, penyimpanan dan pemanfaatan karbon atau CCS/CCUS.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang rencana pemerintah dan PLN untuk mempertahankan PLTU dengan memanfaatkan clean coal technology (CCT) seperti PLTU supercritical dan ultra supercritical, merupakan langkah yang tidak tepat. Pasalnya, kisaran emisi langsung PLTU di Indonesia adalah 800-1200 kgCO2e/MWh tergantung dari teknologi yang ada.

Adapun penggunaan PLTU teknologi ultra supercritical yang terbaik, tetap menghasilkan emisi langsung >700 kgCO2e/MWh, lebih tinggi dari pembangkit fosil lainnya seperti gas dan tidak berdampak signifikan pada penurunan faktor emisi jaringan nasional yang sudah di angka ~900kgCO2e/MWh.

“Kehandalan pemanfaatan CCS (Carbon Capture and Storage) pada PLTU belum teruji. Ditambah lagi, emisi daur hidup PLTU dengan CCS juga masih tergolong besar akibat kenaikan penggunaan batubara untuk menyokong operasi CCS pada PLTU,” beber Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam keterangan tertulis, Jumat (1/7).

Pertimbangan itu mendasarkan pada penggunaan CCS di dua PLTU di PetraNova dan Boundary Dam di Amerika Serikat yang belum mampu mengurangi emisi karbon seperti yang didesainkan awalnya. . Selain itu, strategi dengan menggunakan teknologi Carbon Capture and Storage/Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS) juga tidak akan signifikan mengurangi emisi GRK dan justru mempunyai investasi yang mahal dengan tingkat keberhasilan yang rendah.

“PLN perlu menghitung pilihan-pilihan teknologi dalam melakukan transisi energi. Teknologi CCS/CCUS sampai hari ini masih cukup mahal. IEA memperkirakan teknologi penangkap karbon ini berbiaya $120 per ton CO2 atau $0,12/kg. Pemakaian teknologi CCS/CCUS akan menambah biaya pembangkitan listrik tenaga uap secara signifikan, kurang lebih $0,08 – 0,1/kWh. Dengan pertimbangan biaya ini, lebih terjangkau menutup dini PLTU dan menggantikan dengan PLTS plus baterai skala utilitas yang menghasilkan keekonomian yang lebih kompetitif ketimbang opsi PLTU dengan CCS/CCUS,” terangnya.

Sementara itu, Program Manager Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo menambahkan, demi memenuhi kebutuhan domestik, pemerintah kerap menerapkan Domestic Market Obligation (DMO) yang mempunyai konsekuensi dilematis. Suplai batubara ke pasar domestik dibatasi maksimal harga USD 70/ton. Di sisi lain kebijakan tarif energi terbarukan masih merujuk ke Permen ESDM 50/2017 yang membatasi tarif jual beli energi terbarukan 85% dari biaya pokok penyediaan (BPP).

“Di sini menjadi hambatan dalam transisi energy, di mana energi terbarukan dipaksa lebih murah dibandingkan BPP yang nilainya didominasi PLTU batubara dengan dukungan regulasi DMO USD 70/ton tadi,” ungkap Deon.

Kebijakan DMO batubara telah menciptakan lapang tanding yang tidak seimbang untuk energi terbarukan. Jika pemerintah tidak menerapkan DMO, maka harga pembangkitan listrik dari PLTU batubara dapat mencapai 14-16 cent/kWh, jika harga batubara 324 USD/ton diteruskan. Artinya, tanpa dukungan dari regulasi, pembangkitan listrik dari energi terbarukan sudah lebih murah dibandingkan PLTU batubara.

Kebijakan DMO membuat keekonomian pembangkit energi terdistorsi karena tidak berdasarkan biaya yang sebenarnya. Jika membandingkan energi fosil dan energi terbarukan, harga investasi pembangkit energi terbarukan memang mahal di awal, namun biaya investasi akan menunjukkan tren penurunan yang dapat diprediksi dan diakselerasi dengan dukungan kebijakan yang tepat. Berbeda dengan energi fosil yang sangat tergantung pada biaya operasional yang volatilitasnya sangat tinggi.

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles