Jakarta – Di tengah dorongan besar Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam transisi energi bersih, kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) justru menjadi ganjalan serius dalam menarik investasi asing di sektor energi terbarukan. Hal ini disampaikan langsung oleh Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden untuk Energi dan Lingkungan Hidup, saat menghadiri Bloomberg New Energy Finance (NEF) Summit 2025 di New York.
Menurut Hashim, dalam keterangan tertulis, Jumat, 2 Mei, meskipun perizinan investasi di sektor energi sudah menunjukkan kemajuan, namun regulasi kandungan lokal masih menjadi batu sandungan utama, terutama bagi investor dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya.
“Saya kira kemudahan perizinan sudah cukup bagus. Tapi masih ada kendala yang selalu dibahas mitra dagang kita — yaitu TKDN. Ini menjadi masalah besar, terutama bagi Amerika Serikat, dan menjadi salah satu alasan dikenakannya tarif balasan terhadap produk kita,” kata Hashim.
Instrumen nasionalisme yang dipersoalkan global
TKDN adalah kebijakan yang mewajibkan penggunaan komponen lokal dalam proyek infrastruktur, termasuk energi baru dan terbarukan (EBT). Meski dirancang untuk mendukung industri dalam negeri, kebijakan ini dianggap menghambat efisiensi dan daya saing investasi asing.
Menurut Hashim, keberadaan TKDN telah berulang kali dikeluhkan oleh pelaku industri internasional. Bahkan, ia menyebut kebijakan ini sebagai salah satu penyebab utama diberlakukannya tarif resiprokal (retaliatory tariffs) dari AS terhadap ekspor Indonesia.
“Negara-negara seperti AS sangat memperhatikan kebijakan semacam ini. Mereka menganggapnya sebagai bentuk proteksionisme. Kalau kita ingin bersaing dan menarik lebih banyak investasi, maka harus ada penyesuaian,” jelasnya.
Meski menghadapi hambatan regulasi, Hashim menegaskan bahwa minat investasi asing terhadap sektor energi terbarukan Indonesia tetap tinggi. Dalam pertemuannya dengan para pemodal di forum Bloomberg NEF, ia mencatat adanya ketertarikan kuat dari investor asal AS, Eropa, bahkan Tiongkok.
“Cukup banyak dana investasi dari Amerika, Eropa, dan juga China yang menunjukkan minat tinggi terhadap peluang energi terbarukan di Indonesia. Tapi tentu saja, mereka juga menanyakan soal regulasi dan kepastian hukum,” tambahnya.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah merespons tekanan ini melalui kebijakan relaksasi TKDN dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2024. Regulasi tersebut memberi kelonggaran untuk proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang telah menandatangani perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBTL) sebelum 31 Desember 2024 dan mulai beroperasi paling lambat 30 Juni 2026.
Namun, kebijakan ini dianggap hanya bersifat sementara dan tidak cukup menjawab kekhawatiran jangka panjang investor global. “Relaksasi ini langkah awal yang bagus, tapi kita butuh reformasi struktural dan penyesuaian regulasi yang lebih menyeluruh,” kata Hashim.
Di tengah upaya meningkatkan daya saing industri lokal, pemerintah dihadapkan pada dilema: mempertahankan TKDN demi mendorong pertumbuhan dalam negeri atau melonggarkan regulasi demi menarik investasi dan mempercepat transisi energi.
Hashim berharap pemerintah dapat menempuh jalan tengah yang memungkinkan kolaborasi antara produsen dalam negeri dan investor asing. “Kalau kita ingin Indonesia jadi hub energi terbarukan Asia Tenggara, maka harus terbuka dan fleksibel dalam hal regulasi. Itu kuncinya,” pungkasnya. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)