Jakarta – Emisi karbon dioksida (CO₂) global pada 2024 menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah, menurut laporan terbaru dari lembaga riset energi internasional, Ember. Meski lebih dari 40% listrik dunia kini dihasilkan tanpa membakar bahan bakar fosil, permintaan listrik yang melonjak akibat panas ekstrem membuat ketergantungan terhadap energi kotor masih sulit dilepaskan.
Menurut laporan Ember, lonjakan suhu yang memicu peningkatan penggunaan pendingin udara di berbagai belahan dunia mendorong konsumsi listrik melonjak sebesar 4% pada 2024. Dampaknya, pembangkit listrik berbahan fosil—batu bara dan gas—masih harus diandalkan untuk menutup celah kebutuhan, bahkan tumbuh sebesar 1,4% tahun lalu.
“Cuaca panas ekstrem menjadi pendorong utama penggunaan bahan bakar fosil. Ini menciptakan tekanan besar pada sistem energi global, bahkan di tengah ekspansi energi bersih,” ujar Phil Macdonald, Direktur Pelaksana Ember, dikutip dari laporan resmi yang dirilis Rabu, 9 April.
Energi surya tumbuh pesat, tapi belum cukup
Di sisi lain, energi surya mencatat pertumbuhan tercepat dibandingkan sumber energi lainnya. Sejak 2012, kapasitas pembangkit surya dunia telah berlipat ganda setiap tiga tahun. China memimpin peningkatan tersebut, menyumbang lebih dari 50% dari kapasitas baru secara global. Sementara India, dalam satu tahun terakhir saja, berhasil menggandakan kapasitas energi suryanya antara 2023 dan 2024.
Namun, kontribusi tenaga surya terhadap pasokan listrik global masih terbatas, hanya menyumbang sekitar 7%, disusul energi angin (8%) dan hidro (14%).
“Tenaga surya memang telah menjadi mesin utama transisi energi. Tapi dalam menghadapi cuaca ekstrem seperti 2024, pertumbuhannya belum cukup cepat untuk menahan laju emisi,” tambah Macdonald.
Sementara itu, Badan Iklim Copernicus Uni Eropa mencatat bahwa Maret 2025 menjadi bulan Maret terpanas kedua dalam sejarah pencatatan suhu global, memperpanjang deretan rekor suhu ekstrem selama 12 bulan berturut-turut.
Kondisi ini memicu peningkatan signifikan dalam penggunaan AC dan sistem pendingin lain di banyak wilayah, termasuk Asia, Timur Tengah, dan sebagian Eropa Selatan, yang turut menyumbang lonjakan permintaan energi listrik secara global.
Laporan Ember juga menyebutkan bahwa untuk pertama kalinya sejak 1940-an, energi bersih menyumbang lebih dari 40% listrik global, tepatnya 40,9%. Namun, meskipun angka ini mencerminkan kemajuan, total emisi CO₂ justru melonjak menjadi 14,6 miliar ton pada 2024, rekor tertinggi sepanjang sejarah modern.
“Meski kita melihat transformasi yang sangat menjanjikan dari sisi kapasitas energi bersih, faktanya permintaan energi global meningkat lebih cepat dari laju pertumbuhan energi terbarukan,” terang Macdonald.
Wilayah Asia, khususnya China dan India, disebut masih sangat bergantung pada pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan gas untuk menopang lonjakan kebutuhan energi. Ember menilai, selama pertumbuhan ekonomi dan populasi di kawasan ini tidak diiringi dengan peningkatan tajam dalam pembangunan infrastruktur energi bersih, emisi global sulit untuk ditekan secara signifikan.
“Asia adalah kunci. Tanpa perubahan struktural di kawasan ini, terutama dalam pengurangan ketergantungan pada batu bara, target iklim global sulit tercapai,” tegas laporan Ember. (Hartatik)
Foto banner: shutterstock