EMBER: Penambahan 26,8 GW PLTU baru dalam RUKN tak sesuai target rendah emisi

Jakarta – Lembaga riset energi dan lingkungan EMBER menyoroti rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar 26,8 gigawatt (GW) dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Menurut analisis EMBER, ekspansi ini bertentangan dengan target Indonesia dalam menurunkan emisi karbon serta dapat menghambat implementasi Just Energy Transition Partnership (JETP).

“Rencana ini tidak sejalan dengan komitmen transisi energi yang telah diumumkan Indonesia di berbagai forum internasional, termasuk target penghentian penggunaan batu bara pada 2040,” kata Dody Setiawan, Analis Senior Iklim dan Energi untuk Indonesia di EMBER, dalam keterangan tertulis pada Kamis, 20 Februari.

Menurut laporan EMBER, dari total tambahan kapasitas 26,8 GW PLTU, sekitar 20 GW berasal dari ekspansi PLTU captive yang khusus memasok listrik ke industri. Hal ini berisiko meningkatkan emisi karbon sektor industri dan melemahkan daya saing produk Indonesia di pasar global yang semakin berorientasi pada energi bersih.

“Memproduksi material untuk teknologi hijau dengan sumber energi yang masih beremisi tinggi merupakan langkah yang kontraproduktif. Indonesia seharusnya mulai mengurangi emisi industri smelternya dengan energi terbarukan, agar aspek keberlanjutan dan daya saing produknya meningkat,” jelas Dody.

Dampak finansial dan regulasi PLTU baru

EMBER juga menyoroti bahwa PLTU baru yang direncanakan dalam RUKN akan menghadapi berbagai tantangan dari sisi finansial dan regulasi. Berdasarkan kebijakan yang ada, PLTU baru hanya diperbolehkan beroperasi hingga 2050 dan harus mengurangi emisi hingga 35% dalam waktu 10 tahun. Selain itu, PLTU ini tidak akan mendapat keuntungan dari skema domestik market obligation (DMO), sehingga biaya produksinya lebih mahal dibandingkan energi terbarukan.

Perhitungan EMBER menunjukkan bahwa biaya pembangkitan listrik dari PLTU captive yang baru bisa mencapai USD7,71 sen per kilowatt-jam (kWh). Angka ini lebih tinggi dibandingkan biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik PLN tahun 2020 yang hanya USD 7,05 sen/kWh. Bahkan, tarif listrik dari energi terbarukan seperti tenaga surya dan bayu saat ini berkisar antara USD 5,5 hingga USD 5,8 sen/kWh.

“Dengan biaya yang lebih tinggi dibandingkan energi terbarukan, ekspansi PLTU captive justru akan memperberat beban keuangan industri dan meningkatkan harga energi dalam negeri,” ujar Dody.

Selain faktor ekonomi, penambahan PLTU baru juga berisiko menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan industri.

Katherine Hasan, Analis dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), mengatakan bahwa rencana ekspansi PLTU captive, terutama di Sulawesi dan Maluku Utara, akan meningkatkan risiko kesehatan bagi warga sekitar akibat polusi udara.

“Masyarakat yang tinggal di dekat kawasan industri akan menanggung dampak kesehatan paling besar akibat paparan polusi udara dan partikel beracun dari PLTU. Selain itu, dampak ekologis akibat polusi ini juga sulit dipulihkan,” ungkap Katherine.

Menurut Katherine, Indonesia seharusnya fokus pada percepatan energi terbarukan daripada memperluas penggunaan batu bara. “Berkomitmen pada jalur penghentian penggunaan batu bara sambil mempercepat transisi ke energi terbarukan akan membantu Indonesia mengatasi berbagai tantangan dalam mencapai target rendah emisi,” tambahnya.

EMBER merekomendasikan agar pemerintah melakukan evaluasi ulang terhadap rencana penambahan kapasitas PLTU dalam RUKN. Percepatan pengembangan energi terbarukan, penegakan regulasi emisi, serta peningkatan investasi dalam teknologi bersih dianggap sebagai langkah yang lebih tepat untuk memastikan keberlanjutan sektor ketenagalistrikan Indonesia.

“Indonesia memiliki potensi besar dalam energi terbarukan. Jika ingin mencapai target Net Zero Emission pada 2060, pemerintah harus lebih berani dalam mengurangi ketergantungan terhadap batu bara,” tutup Dody. (Hartatik)

Foto banner: PT Bukit Asam Tbk/handout

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles