DILANS Indonesia: Krisis iklim, disabilitas, dan inklusi sosial

Jakarta – DILANS Indonesia, sebuah gerakan yang berbasis di Bandung yang mengadvokasi hak-hak penyandang disabilitas dan lansia, menyerukan kepada para pemimpin dan masyarakat dunia untuk mengatasi krisis yang saling terkait, yaitu perubahan iklim, disabilitas, dan inklusi sosial.

Presiden DILANS Indonesia, Farhan Helmy, mengajak masyarakat untuk mendukung perjuangan mereka dengan menandatangani petisi di platform Change.org. “Bantu saya dan teman-teman di Gerakan Disabilitas dan Lansia Indonesia (DILANS) untuk menandatangani pesan ini kepada para pemimpin dan warga dunia tentang Krisis Iklim, Disabilitas, dan Inklusi Sosial,” katanya.

Pesan Bandung diumumkan pada tanggal 10 Desember, di akhir kegiatan kelompok ini selama seminggu untuk memperingati Hari Penyandang Disabilitas Internasional, Hari Hak Asasi Manusia, dan COP28 di Dubai, yang berlangsung pada minggu yang sama. Pesan tersebut menyoroti kerentanan unik para penyandang disabilitas dalam menghadapi perubahan iklim, dan menekankan perlunya tindakan yang inklusif dan berempati sesuai dengan Perjanjian Paris.

“Keterbatasan mobilitas fisik, yang akan semakin berkurang seiring berjalannya waktu, akan diperparah oleh krisis iklim yang berdampak akumulatif pada berbagai bencana hidrometeorologi. Kurangnya komitmen serius terhadap Perjanjian Paris menunjukkan kurangnya empati terhadap para penyandang disabilitas dan lansia, yang jumlahnya di dunia mendekati dua miliar,” demikian pernyataan tersebut.

Pernyataan tersebut menarik perhatian pada tantangan yang semakin berat yang dihadapi oleh mereka yang memiliki keterbatasan mobilitas fisik akibat dampak akumulatif dari berbagai bencana hidrometeorologi. Hal ini menjadi perhatian karena jumlah penyandang disabilitas dan lansia di seluruh dunia mendekati angka dua miliar.

Pernyataan tersebut mendesak tindakan dan dukungan yang lebih kuat, terutama melalui penerapan skema “kerugian dan kerusakan”. Skema ini bertujuan untuk memberikan dukungan pendanaan kepada negara-negara dan kelompok-kelompok rentan yang terkena dampak perubahan iklim. “Namun, implementasinya harus dipantau untuk memastikan bahwa skema ini secara langsung berdampak pada kelompok-kelompok rentan,” kata pernyataan itu.

Prinsip kehidupan yang inklusif diperjuangkan dalam pernyataan tersebut, dengan seruan kuat untuk praktik inklusi sosial yang berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Moto “NO ONE LEFT BEHIND” mencerminkan upaya dan harapan untuk mempertimbangkan penyandang disabilitas dan lansia dalam strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hal ini diperkuat dengan prinsip “NOTHING ABOUT US, WITHOUT US,” yang menyoroti pentingnya melibatkan komunitas-komunitas ini dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada mereka.

Pernyataan ini mengacu pada Konvensi Hak Asasi Manusia, Penyandang Disabilitas, sebuah konvensi PBB yang didedikasikan untuk hak-hak penyandang disabilitas dan lansia. Konvensi ini selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai peraturan nasional dan daerah. Pesan Bandung menyerukan pemeliharaan dan percepatan norma-norma ini, dengan menekankan bahwa berbagai kekurangan yang terjadi selama ini telah membatasi kepentingan penyandang disabilitas dan lansia. (nsh)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles