oleh: Firdaus Cahyadi*
Presiden Prabowo Subianto meluncurkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) tepat satu bulan lalu. “Kurang lebih ada 20 proyek strategis bernilai miliaran dolar. Pembiayaan akan difokuskan pada hilirisasi nikel, bauksit, tembaga, pembangunan pusat data kecerdasan buatan, kilang minyak, pabrik petrokimia, produksi pangan dan protein, akuakultur, serta energi terbarukan,” kata Prabowo Subianto saat peluncuran Danantara seperti ditulis beberapa media di Indonesia.
Hiliriasi nikel adalah salah satu fokus pendanaan dari Danantara ini. Pertanyaannya, apakah Prabowo Subianto memahami derita rakyat di hulu hingga hilir dari mineral kritis itu? Salah satu hulu dari proyek hilirisasi nikel itu ada di Pulau Wawonii. Pulau kecil itu terletak di Kabupaten Kanowe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Kini, pulau kecil itu terancam hancur oleh aktivitas tambang nikel.
Sebagian besar penduduk di pulau kecil Wawonii berkebun untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Hasil bumi mereka berupa cengkeh, pala, kelapa dan kacang mente. Dari hasil berkebun itu mereka bukan hanya bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari namun juga untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Bahkan sebagian anak-anak mereka telah berhasil meraih gelar diploma dan sarjana dari kampus-kampus di Propinsi Kendari hingga Jakarta.
Selain berkebun, mereka juga menjadi nelayan. Ikan segar bagi mereka bukan hanya dijual di pasar namun juga untuk lauk bergizi makan sehari-hari. Ikan-ikan, yang bila sudah sampai di restoran berharga mahal, begitu mudah didapatkan di Pulau Wawonii. Penduduk Wawonii pun hampir setiap hari menyantap ikan-ikan itu. Pendek kata, penduduk Wawonii sejatera secara ekonomi.
Bukan hanya secara ekonomi, kehidupan sosial penduduk Wawonii juga harmonis. Mereka saling membantu satu dengan yang lainnya. Gotong royong bukan hanya sebatas pidato-pidato di atas mimbar seperti yang dicuapkan oleh para pejabat-pejabat politik di Jakara, namun sudah dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, kehidupan sosial yang harmonis dan sejahtera penduduk Wawonii tidak bertahan lama. Sejak kedatangan perusahaan tambang nikel di pulau itu, kesejahteraan dan keharmonisan seperti hanya sekedar sejarah. Tambang nikel di Wawonii bukan hanya merusak alam secara fisik namun juga kehidupan sosial di Wawonii.
Mata-mata air di Wawonii banyak yang rusak setelah tambang nikel beroperasi. Sebelum perusahaan tambang Nikel beroperasi di pulau kecil itu, penduduk bisa menikmati air bersih untuk kegiatan mereka sehari-hari, dari minum, mandi hingga mencuci. Setelah tambang nikel beroperasi di kawasan itu, mereka menjadi kesulitan menggunakan air bersih. Sebagian mereka mulai menggali sumur, menggunakan air hujan hingga harus berjalan jauh mencari air bersih untuk kehidupan sehari-hari.
Bukan hanya air bersih yang langka di Wawonii, udara bersih juga menjadi persoalan serius bagi warga di pulau kecil itu, setelah perusahaan tambang nikel beroperasi di Wawonii. Debu-debu yang dihasilkan dari operasional tambang bukan hanya telah mencemari udara namun juga telah merusak tanaman-tanaman penduduk lokal.
Sebagian tanaman-tanaman di kebun penduduk rusak akibat debu-debu dari operasional tambang nikel. Kerusakan tanaman-tanaman ini berujung pada penurunan produksi dari kebun-kebun mereka. Akibatnya, pendapatan mereka menurun drastis bila dibandingkan sebelum tambang beroperasi di pulau tersebut.
Beberapa infrastruktur yang dibuat untuk memfasilitasi operasional tambang juga telah merusak wilayah pesisir. Ikan-ikan tertentu yang bernilai mahal sudah semakin sulit ditemukan. Bila ingin menangkap ikan-ikan tersebut, para nelayan harus melaut lebih jauh lagi. Artinya, biaya produksi mereka untuk sekali melaut akan meningkat.
Kesejahteraan ekonomi penduduk Wawonii menurun akibat kerusakan alam yang ditimbulkan oleh tambang nikel di pulau tersebut. Tambang nikel di pulau-pulau kecil seperti Wawonii bukan mensejahterakan penduduknya tapi justru menciptakan kemiskinan baru. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah yang mengijinkan masuknya tambang di Pulau Wawonii menjadi penyebab utama terjadinya kemiskinan struktural bagi penduduk setempat.
Bukan hanya kemiskinan, relasi sosial penduduk Wawonii yang tadinya harmonis pun menjadi terusik. Terjadi polarisasi antara pendukung dan penolak tambang Nikel. Penduduk yang mendukung tambang nikel tidak lagi saling membantu dan menyapa dengan penduduk yang menolak tambang. Modal sosial gotong-royong yang sebelumnya lekat dalam kehidupan penduduk Wawonii menjadi hancur.
Persoalan kehancuran alam, ekonomi dan juga relasi sosial ini nampaknya tidak dianggap sebagai sesuatu yang serius bagi pengambil kebijakan di tingkat lokal dan nasional. Alih-alih mengarahkan pendanaan Danantara ke proyek yang ramah lingkungan hidup, Danantara justru berencana membiayai proyek solusi palsu transisi energi, berupa hilirisasi batubara.
Rencana pendanaan Danantara untuk solusi palsu transisi energi itu muncul di rapat terbatas bersama Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional di Istana Merdeka pada awal Maret lalu. Seperti banyak diberitakan di media massa, dalam rapat itu Presiden Prabowo Subianto memberikan instruksi untuk memulai kembali proyek gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME) melalui modal Danantara. Proyek gasifikasi batubara adalah satu cara pemerintah untuk mempertahankan kecanduan batubara itu.
Sama halnya dengan hilirisasi nikel, hilirisasi batubara juga bermasalah sejak dari hulunya (lokasi tambangnya). Di hulunya, batubara menimbulkan kerusakan alam dan sosial bagi masyarakat lokal.
Dari sisi krisis iklim, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari DME ini sangat besar. Kajian organisasi lingkungan hidup Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER) mengungkapkan bahwa proyek DME mengahasilkan emisi GRK yang lebih besar daripada LPG (Liquefied Petroleum Gas). Emisi GRK itu dihasilkan itu terjadi sejak dari hilir, proses ekstraksi batubara sebagai bahan baku, hingga di hilirnya, proses produksi DME.
Perhitungan AEER mengungkapkan bahwa proyek pembuatan DME dengan kapasitas sebesar 1,4 juta ton per tahun akan membutuhkan sekitar 6 juta ton batubara. Proses itu akan menghasilkan emisi GRK sebesar 4,26 juta ton CO2 ekivalen per tahun. Dengan kata lain, emisi GRK yang dihasilkan dari produksi DME lima kali lebih besar dari produksi LPG dengan jumlah sama, yaitu 824.000 ton CO2 ekivalen per tahun.
Kerusakan alam dan sosial di Indonesia akan semakin massif bila Danantara mendanai proyek hilirisasi, baik nikel maupun batubara. Kerusakan alam dan sosial itu akan menjadi bencana ekologi, bukan hanya bagi masyarakat lokal namun juga internasional akibat krisis iklim. Publik Indonesia dan juga internasional tidak boleh tinggal diam dengan rencana pendanaan Danantara di sektor hilirisasi nikel dan batubara. Tanpa perlawanan dari publik, Danantara akan menjadi dalang segala bencana.
*Penulis adalah pendiri Climate Justice Literacy Indonesia
Artikel ini adalah ekspresi pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap resmi tanahair.net.
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)