Dampak perubahan iklim memburuk, ekspektasi perdagangan karbon Indonesia meningkat

Presiden Jokowi meluncurkan sekaligus membuka Perdagangan Perdana Bursa Karbon Indonesia di BEI, di Jakarta, Selasa (26/09). (Sumber: Humas Setkab/Agung)

oleh: Hartatik

Indonesia kini resmi memiliki bursa karbon. Akhir September, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan perdagangan karbon secara perdana atau disebut dengan Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Nilai transaksi jual beli karbon saat penutupan tidak bisa dipandang sebelah mata yakni mencapai Rp 29,2 miiar. Adapun total volume karbon yang diperdagangkan sebesar 459.953 ton CO2.

Namun nilai transaksi itu berbanding terbalik pada hari kedua IDX Carbon dibuka. Sebab tidak ada transaksi yang dibukukan. Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Jeffrey Hendrik, menilai transaksi di bursa karbon yang masih sepi ini masih wajar. Menurutnya, transaksi bursa karbon tidak selikuid bursa saham.

“Jumlah pengguna jasa bursa karbon juga belum cukup banyak. Saat ini, Pertamina New and Renewable Energy (PNRE) menjadi satu-satunya penyedia unit karbon di IDXCarbon,” ungkap Jeffrey, Jumat, 29 September.

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan, kehadiran IDX Carbon menjadi salah satu instrumen kebijakan yang efektif untuk meningkatkan upaya mitigasi perubahan iklim melalui skema pasar karbon. Apalagi laju perubahan iklim beberapa dekade terakhir ini semakin mengkhawatirkan.

“Upaya-upaya mitigasi pengurangan emisi secara global mutak dilakukan untuk mengurangi laju pemanasan global penyebab perubahan iklim. Meski bukan menjadi yang pertama di Asia, kehadiran bursa karbon di Indonesia telah dinanti banyak pihak,” ujar Jokowi saat meresmikan IDX Carbon, 26 September.

Bursa karbon di belahan dunia lain, antara lain ada di Uni Eropa, yang memulai bursa karbon pada 2006, Swiss sejak 2008, dan Korea Selatan pada tahun 2015. Begitu pun negara tetangga, Singapura dan Malaysia juga belum lama meluncurkan bursa karbon.

Pengamat Ekonomi dan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Nusantara Bandung Dr Yoyok Prasetyo menilai hadirnya IDX Carbon menjadi angin segar dalam ekosistem ekonomi hijau di Indonesia.

Apalagi Indonesia memiliki hutan tropis yang luas sehingga menjadi keuntungan dibandingkan negara-negara lain. Kehadiran bursa karbon di Indonesia ini bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca, melalui jual beli karbon.

“Pembentukan bursa karbon ini selaras dengan target pemerintah Indonesia yang telah menetapkan Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dengan upaya sendiri, atau hingga 41 persen dengan dukungan eksternal pada 2030,” ujar Yoyok dalam rilis pers.

Tuntutan perjanjian internasional

Associate Professor dan Pakar Carbon Trading Universitas Prasetiya Mulya, Rio Christiawan mengungkapkan, urgensi untuk segera mempersiapkan dan merealisasikan bursa karbon itu adalah negara-negara peserta konferensi perubahan iklim dunia (COP) yang berjumlah 196 negara harus mencapai target pengurangan emisinya pada 2030. Salah satu negara itu adalah Indonesia.

Selain itu, Persetujuan Paris yang bersifat mengikat secara hukum dan diterapkan semua negara dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing, termasuk dalam hal ini Indonesia telah meratifikasi COP melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC).

“Indonesia memiliki luasan hutan terluas ketiga di dunia dan dalam COP hanya menargetkan pengurangan emisi karbon setara dengan 835 juta ton CO2, maka selain porsi NDC Indonesia yang logikanya sudah hampir pasti dapat dipenuhi juga di samping itu terdapat potensi ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia.,” ujar Rio.

Meski potensi ekonomi ini besar, Rio menilai ada tiga tantangan daam perdagangan karbon di Indonesia. Pertama soal mekanisme penetapan harga acuan unit karbon yang akan diperdagangkan. Menurutnya, penetapan index harga bursa karbon Indonesia yang tepat dan kompetitif penting karena salah satu dari esensi Peraturan Presiden Nomor 98/ 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) adalah penetapan harga acuan (carbon pricing).

“Penetapan harga yang akurat menjadi penting, mengingat harga bursa karbon akan menjadi acuan bagi perdagangan karbon non bursa (baik pasar mandatory dan pasar voluntary),” terang Pakar Investasi dan Sustainability ini.

Tantangan kedua adalah mempercepat Perizinan Berusaha Penguasaan Hutan (PBPH) di bidang restorasi dan peruntukan perdagangan karbon. Jika proses PBPH, registrasi dan otorisasi ‘berbelit-belit’ maka dikhawatirkan bursa karbon nantinya akan sepi perdagangan atau didominasi perusahaan asing yang menjual karbon bukan berasal dari Indonesia.

Jika hal ini terjadi maka bursa karbon di Indonesia hanya menempatkan Indonesia sebagai buyer atau sebagai broker/trader, bukan sebagai penjual karbon secara langsung melalui mekanisme bursa.

Tantangan ketiga, pemerintah harus mencermati terkait terbatasnya jumlah perusahaan pemilik sertifikat penurunan emisi yang terdaftar dalam sistem registrasi nasional, sehingga nantinya dapat berimplikasi pada terbatasnya perdagangan karbon melalui bursa.

Sertifikat penurunan emisi secara internasional dikenal dengan nama verified carbon unit (VCU) yang secara legal dapat dialihkan melalui verified carbon unit purchase agreement (VCUPA) atau Emision Reduction Purchase Agreement (ERPA), merupakan dasar perdagangan karbon melalui bursa karbon. Hal itu diatur UU No 4/2023 tentang dalam Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang dikelola oleh OJK.

Adapun sertifikat penurunan emisi yang dapat diperdagangkan melalui bursa dapat diperoleh melalui berbagai mekanisme, misalnya melalui Forestry and Other Land Use (FOLU), Agriculture, Forestry and Other Land Use (AFOLU), hingga Clean Develop Mechanism (CDM) yang sudah terdapat dalam sistem registrasi nasional.

Ia pun menilai pemerintah perlu belajar dari berdirinya South Korea’s Emissions Trading Scheme (KETS) pada akhirnya tidak optimal dalam perdagangan karbon melalui bursa, karena rendahnya volume perdagangan, sehingga tidak mampu membentuk harga acuan karbon sebagai komoditas.

“KETS hanya dibuka dua hari dalam seminggu dengan jam perdagangan terbatas karena masih sangat terbatasnya jumlah karbon yang diperdagangkan melalui bursa,” beber Rio.

 

Foto banner: Nilai transaksi bursa karbon yang diperdagangkan Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) di BEI pada hari pertama resmi diluncurkan Presiden Jokowi, 26 September. (Sumber: tangkapan layar kanal Youtube Indonesia Stock Exchange)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles