CERAH: Komitmen pensiun PLTU masih abu-abu dalam peta jalan transisi energi

Jakarta – Lembaga nirlaba CERAH mengatakan regulasi peta jalan transisi energi nasional yang telah lama dinanti untuk menata arah transisi energi nasional, malah menimbulkan lebih banyak pertanyaan soal komitmen pemerintah dalam upaya meninggalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Policy Strategist dari lembaga riset energi CERAH, Sartika Nur Shalati, menyebut kebijakan ini sebagai langkah awal yang positif, tetapi tidak cukup untuk menjawab urgensi transisi energi. “Permen (peraturan menteri) ini memang sebuah kemajuan, tapi ironisnya, tidak ada rincian soal PLTU mana saja yang akan dipensiunkan ataupun total kapasitas yang ditargetkan. Padahal, kajian soal itu sudah banyak tersedia,” ujar Sartika dalam keterangannya, Selasa, 22 April.

Peraturan Menteri ESDM No 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan, yang diundangkan minggu lalu, menyediakan landasan hukum bagi langkah-langkah dekarbonisasi sektor listrik.

Namun, para pengamat menilai kebijakan ini belum menunjukkan peta jalan yang tegas terhadap pensiun dini PLTU, salah satu langkah krusial dalam pengurangan emisi karbon Indonesia.

Peraturan ini memuat sejumlah kriteria evaluasi sebelum PLTU bisa disuntik mati—mulai dari usia dan kapasitas pembangkit, emisi, utilisasi, hingga aspek ekonomi dan sosial. Namun, karena semua keputusan bersifat “kondisional”, tak ada jaminan bahwa proses pensiun dini akan berjalan cepat dan tegas.

Kebijakan ini juga dinilai tidak sejalan dengan janji Indonesia di forum global. Dalam pidatonya di KTT G20 November 2024, Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmen untuk melakukan penghentian total (phase out) PLTU pada tahun 2040. Namun, Permen ESDM justru mengadopsi pendekatan penghentian bertahap (phase down), tanpa mencantumkan tenggat waktu yang jelas.

Kajian dikhawatirkan jadi alat penunda

Wicaksono Gitawan, Analis Kebijakan CERAH, menyoroti kelemahan teknis dalam regulasi ini. Menurutnya, belum ada kejelasan tentang mekanisme tindak lanjut jika kajian untuk pensiun dini PLTU molor dari tenggat enam bulan yang ditetapkan. “Ini bisa membuka ruang penundaan yang justru menggagalkan keseluruhan proses. Apalagi jika tidak ada sanksi atau skenario lanjutan yang diatur secara jelas,” kata Wicaksono.

Ia juga menilai aspek “Transisi Energi Berkeadilan” yang diangkat dalam Pasal 11 hanya menjadi hiasan kebijakan, tanpa penjabaran yang memadai soal implementasinya.

Kebijakan ini juga menuai kritik karena masih membuka ruang besar bagi teknologi “transisi” berbasis batu bara, seperti co-firing (pembakaran bersama biomassa, amonia, atau hidrogen) dan penangkapan karbon (CCS). Menurut Wicaksono, langkah ini justru mempertahankan ketergantungan terhadap batu bara dan hanya menciptakan “solusi palsu”.

“PLTU dengan CCS tetap menghasilkan karbon. Secara global, teknologi CCS juga terbukti belum efisien dan tidak banyak berhasil menyerap karbon secara optimal,” tegasnya.

Biaya tinggi, rakyat bisa terdampak

Selain efektivitasnya dipertanyakan, penggunaan teknologi seperti CCS dan reaktor nuklir dalam peta jalan ini juga dinilai berpotensi membebani keuangan negara dan masyarakat.

Menurut Sartika, pengelolaan limbah nuklir misalnya, bisa menelan biaya antara Rp2,2 miliar hingga Rp1,3 triliun, tergantung pada metode penyimpanannya. Sementara itu, pemasangan CCS pada seluruh PLTU yang berkapasitas 54,7 GW dapat menambah biaya produksi sebesar USD17 miliar atau sekitar Rp283 triliun per tahun.

“Ini bertolak belakang dengan tujuan mempertimbangkan dampak terhadap tarif listrik. Justru bisa memperbesar biaya pokok penyediaan tenaga listrik (BPP),” ujar Sartika.

Padahal, menurut kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), biaya produksi (LCOE) dari energi terbarukan seperti panel surya sudah jauh lebih murah, yaitu sekitar USD 4,1–10,1 per kWh, dibanding PLTU yang berkisar 4,5–11,9 USD per kWh, belum termasuk biaya CCS.

“Kalau sudah tahu energi bersih lebih murah, kenapa kita masih berkutat di batu bara?” tanya Wicaksono retoris.

Para pengamat menegaskan bahwa peta jalan ini harus segera diperkuat dengan daftar PLTU yang akan dipensiunkan, jadwal yang jelas, dan kerangka kerja transisi energi yang inklusif dan adil.

“Kalau roadmap ini dibiarkan menggantung tanpa target konkret, Indonesia akan kesulitan memenuhi komitmen iklimnya. Lebih buruk lagi, kita bisa terjebak dalam krisis iklim yang lebih dalam karena terlalu lama berkompromi dengan batu bara,” tutup Wicaksono. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles