Jakarta – Para pengamat mengkritisi bank-bank BUMN yang masih mengalir deras ke sektor yang memperparah krisis iklim. Bank-bank Indonesia mencatat kontribusi signifikan dalam mendanai energi kotor di Asia Tenggara, menurut laporan terbaru Center for Energy, Ecology, and Development (CEED).
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara, dalam pernyataannya Selasa, 3 Juni mengatakan bahwa “Bank masih membiayai krisis iklim sambil meremehkan dampaknya terhadap risiko keuangan dan kualitas hidup masyarakat. Laporan ini adalah bentuk pengawasan publik terhadap praktik lembaga keuangan. Harus ada perubahan sebelum terlambat.”
Laporan CEED yang berjudul Southeast Asia Fossil Fuel Divestment Scorecard 2025 yang dirilis akhir Mei mengatakan bahwa “kontribusi bank-bank domestik, khususnya dari Indonesia, terus meningkat saat pendanaan dari bank internasional perlahan beralih ke sektor gas dan energi terbarukan.” Laporan tersebut mengatakan bahwa lembaga keuangan nasional menyumbang 12 persen dari total pembiayaan batu bara di Asia Tenggara selama 2016–2024, atau sekitar USD 3,96 miliar.
Angka ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kontribusi tertinggi, bersanding dengan Filipina dan Vietnam. Dana tersebut utamanya mengalir ke proyek-proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), termasuk proyek besar di Jakarta dan sekitarnya.
Laporan tersebut menyoroti Bank Mandiri sebagai lembaga keuangan domestik yang paling agresif membiayai proyek PLTU. Bahkan, bank milik negara ini menduduki posisi kedua tertinggi di antara seluruh bank Asia Tenggara dan internasional dalam pembiayaan batu bara.
Salah satu transaksi terbarunya adalah penyaluran kredit refinancing senilai USD 1,27 miliar untuk PLTU Sumsel-8 pada September 2024. Namun, Bank Mandiri belum memiliki kebijakan eksplisit untuk menghentikan pembiayaan batu bara, selain menyatakan komitmen mengikuti target pemerintah untuk penghentian batubara pada 2040.
Dua bank BUMN lainnya, BNI dan BRI, masing-masing menduduki peringkat ke-7 dan ke-8 dalam daftar bank paling aktif mendanai proyek batu bara dan gas. Keduanya dinilai memiliki skor keberlanjutan rendah akibat belum adanya kebijakan divestasi bahan bakar fosil serta komitmen terbatas terhadap energi bersih.
Lembaga masyarakat sipil desak transformasi
CEED bersama CELIOS, WALHI, KRuHA, Energy Shift Southeast Asia, dan RimbaWatch menyerukan agar perbankan Indonesia dan Asia Tenggara menetapkan target dan tenggat waktu penghentian pendanaan terhadap batu bara, minyak, dan gas bumi. Lalu menutup celah dalam skema pembiayaan tidak langsung, seperti penjaminan proyek atau penjualan sekuritas, mewajibkan anak perusahaan untuk mematuhi kebijakan keberlanjutan induk, serta mengadopsi 10 Prinsip Panduan Pembiayaan dalam program pensiun dini PLTU, termasuk menolak solusi palsu seperti co-firing amonia atau teknologi penangkapan karbon.
Menurut Direktur Eksekutif CEED dan Konvenor Energy Shift Southeast Asia, Gerry Arances, tidak ada alasan lagi untuk menunda transisi energi.
“Lembaga keuangan harus segera menyetop investasi pada bahan bakar fosil baru dan mengalihkan dana ke energi terbarukan sesuai kebutuhan krisis iklim. Jika tidak, Asia Tenggara akan terjebak dalam lingkaran bencana dan kerusakan lingkungan yang tak bisa diperbaiki,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa ambisi kawasan ASEAN harus ditopang oleh kebijakan pendanaan progresif dan nyata, bukan sekadar janji tanpa aksi. (Hartatik)
Foto banner: shutterstock