Jakarta – Pemerintah blak-blakan soal anggaran yang dibutuhkan untuk mencapai transisi energi delapan tahun mendatang. Sedikitnya nilai investasi tersebut mencapai 25-30 miliar USD atau setara Rp 442 triliun di mana kurs Rp14.749/USD.
Demikian disampaikan Presiden Joko Widodo saat menghadiri KTT G7 sesi working lunch dengan topik perubahan iklim, energi, dan kesehatan, di Elmau, Jerman. Pada kesempatan itu, Jokowi mengajak negara-negara G7 untuk berkontribusi memanfaatkan peluang investasi di sektor energi bersih di Indonesia.
“Termasuk pengembangan ekosistem mobil listrik dan baterai lithium,” ujar Presiden Jokowi dalam keterangannya yang dirilis Youtube Sekretariat Negara, Kamis (28/6).
Lebih lanjut, Jokowi mengatakan, potensi Indonesia sebagai kontributor energi bersih, baik di dalam perut bumi, di darat, maupun di laut, sangat besar. Hanya saja pemerintah membutuhkan investasi besar dan teknologi rendah karbon untuk mendukung transisi menuju energi bersih yang cepat dan efektif.
“Optimalisasi transisi energi nantinya dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi, membuka peluang bisnis, dan membuka lapangan kerja baru,” imbuhnya.
Transisi energi merupakan keniscayaan, mengingat risiko perubahan iklim tidak hanya nyata dirasakan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan 17.000 pulau, melainkan juga negara-negara berkembang lainnya. Bahkan risikonya tidak hanya mengganggu kesehatan, namun juga membuat petani dan nelayan dalam kesulitan.
“Dukungan semua negara G7 di Presidensi Indonesia pada G20 sangat kami harapkan. Sampai bertemu di Bali. Terima kasih,” ujar Presiden mengakhiri sambutannya.
Pemerintah diminta aktif sosialisasi rencana kenaikan harga energi
Sementara dinamika global yang terjadi saat ini yang mendorong kenaikan harga khususnya energi, sudah dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Sehingga pemerintah diminta aktif sosialisasi ke masyarakat jika ingin menaikkan harga sejumlah komoditas energi dalam waktu dekat.
Berdasarkan survei Danareksa Research Institute (DRI) Mei 2022 mayoritas masyarakat belum mengetahui penyebab kenaikan harga tersebut. “Kami menyarankan pemerintah perlu aktif menyosialisasikan terkait rencana kenaikan harga energi seperti Pertalite, solar, LPG 3 kg, dan tarif dasar listrik. Saat ini baru sebagian kecil masyarakat yang sudah mengetahui,” ungkap DRI dalam laporannya, Jumat (17/6).
Selanjutnya, terkait rencana kenaikan harga tarif listrik masyarakat yang baru mengetahui sebesar 39,97 persen. Kemudian rencana kenaikan harga gas 3 kilogram (kg) sebanyak 37,06 persen, harga pertalite 32,48 persen, dan harga solar 25,81 persen. Lebih lanjut, menurutnya, saat ini kenaikan harga BBM belum berdampak banyak pada kenaikan harga. Begitu pun mayoritas masyarakat belum melakukan perubahan pola konsumsi.
Survei tersebut mengatakan kenaikan harga BBM telah mempengaruhi keputusan rumah tangga untuk melakukan mudik dan liburan. Di tengah ketidakpastian harga, masih banyak konsumen yang tetap optimistis. Dan tidak khawatir karena dampak inflasi yang terkendali.
Sementara itu, untuk pola konsumsi masyarakat terfokus pada kebutuhan sekunder dan tersier. Sedangkan konsumsi primer masih relatif terjaga. Adapun upaya adaptasi masyarakat di tengah kenaikan harga yaitu dengan, mengurangi pembelian makanan dan minuman di luar sebanyak 58,47 persen, mengurangi aktivitas hiburan 52,90 persen, dan mengurangi belanja pakaian 48,84 persen. (Hartatik)
Foto banner: Presiden Joko Widodo bertemu Kanselir Jerman Olaf Scholz KTT G7 di Elmau, Jerman, 27 Juni 2022. (Sumber: Sekretariat Presiden)